Selasa, 22 November 2011



A. Latar Belakang Masalah
        Aliran rekonstruksionisme merupakan aliran dalam filsafat pendidikan yang berawal dari adanya krisis kebudayaan modern yang dipelopori oleh tokoh bernama George Count dan Harold pada tahun 1930-an. Aliran rekonstruksionisme merupakan aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Dasar pemikiran aliran rekonstruksionisme tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran pada aliran perenialisme dan progresifisme. Aliran rekonstruksionisme muncul sebagai reaksi dari adanya pemahaman dalam aliran perenialisme maupun aliran progresivisme, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan, karena upaya aliran rekonstruksionisme dalam mengembangkan pendidikan diawali oleh keprihatinan para rekonstruksionis terhadap kehidupan manusia modern atau dengan kata lain menyebutkan adanya krisis kebudayaan modern. Aliran rekonstruksionisme merupakan salah satu aliran yang menganggap telah terjadi kegagalan dalam pendidikan dunia modern (progresif). Maka, aliran rekonstruksionisme berupaya melakukan sebuah perombakan tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern serta membina suatu konsensus yang paling luas dan mungkin mengenai tujuan pokok tertinggi dalam kehidupan manusia. (Depag RI, 1984: 31). Mereka bermaksud ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan adil dengan rekonstruksi-rekonstruksi yang ditawarkannya.[1] Lantas, apa dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh aliran rekonstruksionisme untuk dapat memperbaiki sistem pendidikan supaya tidak terkungkung dalam sebuah pendidikan yang amat tradisional dan tidak dapat menyesuaikan perkembangan zaman, akan tetapi juga tidak terjebak oleh pemahaman tentang pendidikan yang pragmatis?
Pendidikan pada hakekatnya merupakan sebuah formula yang memiliki fungsi untuk dapat mengubah dunia menjadi dunia yang benar-benar semakin berperadaban, karena inti dari sebuah pendidikan adalah proses pengubahan dari yang sebelumnya belum baik menjadi baik, dan yang sebelumnya sudah baik menjadi semakin baik lagi. Pendidikan bukan hanya sekedar pentransferan pengetahuan oleh seorang pendidik kepada peserta didiknya. Pendidikan adalah upaya menyusun kembali komponen-komponen pendukung dari kognisi manusia, afeksi manusia, maupun psikomotor manusia secara seimbang. Di dalam pendidikan ketiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan, sebab jika dipisahkan, akan terjadi sebuah ketimpangan bagi peserta didik nantinya, terutama saat terjun langsung dalam masyarakat.
Menilik dari pentingnya peran pendidikan, maka seharusnya pendidikan mampu dijadikan sebagai perombak sistem kehidupan masyarakat untuk dapat menjadi manusia yang semakin berkemajuan. Akan tetapi, pada kenyataannya pendidikan pada abad-abad terakhir ini tidak lagi dapat dijadikan sebagai perombak bagi kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik. Yang ada justru fenomena sebaliknya, manusia yang dalam proses belajarnya lebih banyak ditekankan pada kemampuan kognisi, justru diperbudak oleh pendidikan itu yang akhirnya hanya ditujukan untuk memperoleh pekerjaan yang berujung pada uang, bukan perolehan pengetahuan dan pemahaman, sehingga terjebak dalam pemaknaan hidup yang pragmatis. Pendidikan telah diselenggarakan dengan cara dan pemikiran yang salah. Pendidikan yang ada selama ini bukannya menunjukkan sebuah perkembangan yang baik, akan tetapi justru sebaliknya menjadi bertambah buruk. Dunia bahkan mengalami sesuatu yang disebut dengan situasi krisis yang sekarat.[2] Virus kapitalisasi sungguh telah menjangkiti setiap jiwa manusia. Dari situlah, maka timbullah berbagai krisis, baik krisis yang terjadi di negara sendiri, yaitu Indonesia, hingga krisis dunia yang semakin tidak terkendalikan.
Dalam dunia pendidikan, yang tengah menjadi sebuah permasalahan paling rumit saat ini adalah pemahaman dari makna pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang memiliki makna perubahan manusia menjadi lebih baik telah beralih wujud menjadi sebuah sistem yang senantiasa menyuguhkan materi-materi dengan berbagai kompetensi yang dituntut untuk dituntaskan pembelajarannya, tanpa adanya sebuah pemaknaan khusus akan manfaat dan hikmah dari setiap ilmu yang diajarkan. Dengan pemaknaan pendidikan yang demikian, maka output-output yang ada hanya akan menjadi seseorang yang diibaratkan sebuah robot yang dikendalikan oleh mesin-mesin, yang siap diperbudak oleh tuannya yaitu berupa hawa nafsu. Hal tersebut mengakibatkan manusia kini menjadi kehilangan jiwa sosial mereka. Maka, diambil dari pemikiran aliran rekonstruksionisme dalam pendidikan ini adalah sebagai upaya untuk merombak sistem pendidikan, terutama sistem pendidikan nasional, dengan tujuan agar para peserta didik dalam menuntut ilmu kelak akan menjadi kaum intelektual yang dapat mengembangkan peradaban dunia menjadi dunia yang semakin berkemajuan dan juga beradab, sehingga dunia akan dapat bangkit dari keterpurukan akibat krisis yang berkepanjangan, terutama krisis moral yang menjadi faktor utama dari krisis-krisis yang lainnya.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di muka, maka diambil topik pembahasan yang dirumuskan dalam rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dan sejarah munculnya aliran rekonstruksionisme?
2. Bagaimana prinsip-prinsip pemikiran aliran rekonstruksionisme?
3. Bagaimana pandangan-pandangan yang ada dalam aliran rekonstruksionisme?
4. Bagaimana teori pendidikan dalam rekonstruksionisme?
5. Bagaimana implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah Pendidikan?



Tujuan Pembahasan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembahasan dalam makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian dan sejarah munculnya aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan.
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pemikiran aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan.
3. Untuk mengetahui pandangan-pandangan yang ada dalam aliran rekonstruksionisme.
4. Untuk mengetahui teori pendidikan dalam rekonstruksionisme.
5. Untuk mengetahui implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah pendidikan.


Manfaat Pembahasan
Dengan dibahasnya makalah tentang aliran rekonstruksionisme, maka akan menambah pengetahuan tentang aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan bagi para pembaca, dan bagi penulis sendiri khususnya, sehingga akan didapatkan pengetahuan baru tentang implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah penidikan, serta upaya perombakan tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.










PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Latar Belakang Munculnya Aliran Rekonstruksionisme
1. Pengertian Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct, yaitu gabungan dari kata re- yang artinya kembali dan construct yang artinya membangun atau menyusun. Maka, secara etimologis reconstruct diartikan menyusun kembali. Sedangkan, dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.[3] Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme banyak yang sepaham dengan aliran perenialisme, yang dikhususkan kepada keprihatinan para rekonstruksionis terhadap kehidupan manusia modern atau dengan kata lain menyebutkan adanya krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut berpandangan bahwa kehidupan manusia modern telah banyak mengalami kebobrokan, kerusakan, kebingungan, dan tidak menentunya prinsip manusia, sehingga manusia modern sudah banyak kehilangan jati diri mereka. Bedanya kedua aliran ini, jika aliran perenialisme berpandangan bahwa kebobrokan kehidupan manusia modern dapat diatasi dengan cara kembali ke dalam kehidupan yang masih menjunjung tinggi kebudayaan dan peradaban masa lampau, karena kaum perenialis berpandangan bahwa pola perkembangan kebudayaan sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang ada dalam masa sebelumnya, sehingga perenialisme sering disebut juga dengan istilah tradisionalisme. Sementara, aliran rekonstruksionisme berusaha membina konsensus yang paling luas dan mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Dari jalan pikiran dan upaya yang berusaha ditempuh oleh aliran rekonstruksionisme, maka dapat dilihat juga bahwa aliran ini tidak terlepas dari prinsip pemikiran aliran progresifisme yang mengarah kepada tuntutan kehidupan modern. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Count bahwa apa yang diperlukan pada masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata dunia baru.
2. Latar Belakang Kemunculan Aliran Filsafat Rekonstruksionisme
Jauh pada tahun 1930-an, dunia mengalami krisis yang sangat hebat, yaitu krisis ekonomi yang tidak hentinya terus merongrong perekonomian dunia. Sistem ekonomi kapitalis telah meningkatkan sikap egosentris masyarakat dunia. Masa krisis dunia bukan hanya terjadi pada era modern seperti saat ini, yang tengah gencarnya menghantui setiap penjuru dunia. Tidak ubahnya dengan sebuah politik, dalam ekonomi kapitalis tidak lagi mengenal siapa teman sejati dan siapa musuh yang sejati. Sistem kapitalis telah menumbuhkan sikap kesombongan negara-negara yang merasa memiliki sistem perekonomian di atas atau yang disebut dengan negara-negara maju. Kesombongan-kesombongan itu antara lain adalah kesombongan sikap dari sebuah negara yang notabene dianggap sebagai polisi dunia yaitu Amerika Serikat. Amerika merasa sanggup hidup dengan perekonomian sendiri, hingga akhirnya defisit perdagangan Amerika mulai terasa sejak menjadi elemen penting ekonomi dunia pada awal abad ke-17. Antara tahun 1990 sampai tahun 2000 defisit perdagangan Amerika dari 100 miliar naik menjadi 450 miliar.[4] Krisis yang terjadi di Amerika tersebut secara otomatis juga telah menjadi krisis bagi dunia. Sedangkan krisis yang terjadi pada tahun 1930-an pada saat itu juga merupakan sebuah krisis ekonomi dunia yang menyebabkan terjadinya depresi dunia sehingga menyebabkan lumpuhnya bangsa-bangsa kapitalis secara ekonomi. Adanya krisis ini akhirnya berdampak pula kepada pendidikan. Krisis inilah yang melatarbelakangi munculnya aliran rekonstruksionisme yang bertujuan untuk dapat berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
3. Tokoh-tokoh Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, yang memiliki keinginan yaitu ingin membangun masyarakat yang baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini antara lain adalah Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
George Counts adalah seorang tokoh aliran rekonstruksionisme yang memulai masuk sekolah pascasarjana di University of Chicago pada tahun 1913. Pada saat ini Sekolah Pendidikan dipengaruhi oleh John Dewey dan Francis W. Parker. Pendidik bertekad untuk mengembangkan suatu rencana bagi ilmu pendidikan. Charles Hubbard Judd adalah salah satu pemimpin rencana ini. George Counts adalah murid Charles Hubbard Judd. George Counts selesai doktor di bidang pendidikan pada tahun 1916 dan juga belajar sosiologi di bawah Albion W. Small. Pengalamannya dalam sosiologi membuatnya berkonsentrasi pada dimensi sosiologis penelitian pendidikan.
Hasil karya George Counts berupa tulisannya tentang "Prinsip Pendidikan" dengan J. Crosby Chapman. Itu adalah gambaran filosofis, psikologis, dan metodologis American Pendidikan (Gutek, 250). Prinsip-prinsip Pendidikan tahun 1924 disukai filsafat John Dewey. Dalam Counts tahun 1920-an bersama dalam gerakan-anak berpusat dalam pendidikan progresif. Selain itu, George Counts juga menulis "Berani Build Sekolah Sosial Orde Baru?" yang merupakan pamflet yang terdiri dari tiga makalah yang dibaca pada bulan Februari 1932 di pertemuan pendidikan nasional. Satu kertas dibaca sebelum Progressive Education Association di Baltimore, lain kertas sebelum sebuah divisi dari Departemen pengawasan di Washington, dan kertas lain sebelum Dewan Nasional Pendidikan di Washington. Judul dari tiga makalah adalah: Dare Jadilah Pendidikan Progresif Progressive; Pendidikan Melalui indoktrinasi, dan Kebebasan, Budaya, Sosial Perencanaan, dan Kepemimpinan. George Counts ingin para guru untuk memimpin masyarakat bukannya mengikuti masyarakat. Para guru adalah pemimpin dan harus membuat kebijakan yang bisa memutuskan antara tujuan dan nilai-nilai yang saling bertentangan. Guru harus peduli dengan urusan sekolah, tetapi juga harus peduli dengan masalah-masalah kontroversial ekonomi, politik, dan moralitas.[5]
Tokoh kedua dalam aliran rekonstruksionisme adalah Caroline Pratt. Caroline Pratt dilahirkan di Lound, Nottinghamshire, 23 Juni 1962, dan meninggal di Peterborough, Cambridgeshire 4 September 2004. Dia adalah salah satu dari 14 elite performance riders di Inggris, akan tetapi dia terbunuh pada suatu kompetisi di Burghley Horse Trials pada 4 September 2004. Dia merancang unit blok yang menjadi bahan dasar di sekolah-sekolah di seluruh Amerika Serikat. Blok unit standarnya adalah bentuk yang sama seperti blok dari Froebel Hadiah keempat berdasarkan proporsi 1:2:4. Blok lainnya berasal dari blok standar, beberapa orang lain yang lebih kecil dan lebih besar seperti yang dijelaskan oleh Froebel dalam Pendidikan Manusia 1826. Unit blok harus kokoh dan akurat dipotong sehingga anak-anak dapat melakukan sebuah penciptaan, pemecahkan masalah, dan tantangan sendiri. Caroline Pratt merupakan seorang guru muda yang inovatif. Caroline Pratt mengungkapkan ide-ide dari Friedrich Froebel tentang sesuatu yang dapat memberikan anak-anak kesempatan untuk mewakili dunia mereka.[6]
Selanjutnya, tokoh aliran rekonstruksionisme yang ketiga adalah Harold Rugg. Dia adalah seorang guru, insinyur, sejarawan, ahli teori pendidikan, dan mahasiswa psikologi dan sosiologi. Harold Rugg (1886-1960) adalah salah satu pendidik yang paling serbaguna yang terkait dengan gerakan pendidikan progresif. Harold Rugg Ordway, anak Edward dan Merion Abbie (Davidson) Rugg, lahir di Fitchburg, Massachusetts, pada tanggal 17 Januari 1886. Ayahnya adalah seorang tukang kayu. Harold Rugg Ordway memiliki banyak pengalaman kerja, karena dia adalah seseorang yang sangat gigih dalam hidupnya. Di Dartmouth dia menerima gelar B.S. gelar pada tahun 1908 dan gelar sarjana di bidang teknik sipil pada 1909. Pada tahun 1911 ia memasuki Universitas Illinois, tempat ia mengajar teknik dan melakukan pekerjaan lulusan di bidang pendidikan dan sosiologi di bawah arahan William C. Bagley. Pada tanggal 4 September 1912, Rugg menikah Bertha Miller, mereka mengadopsi dua anak. Rugg menikah sampai tiga kali, tetapi dua perkawinannya berakhir dengan perceraian. Rugg menyelesaikan Ph.D. program pada tahun 1915 dan pada musim gugur tahun itu pindah ke Universitas Chicago, tempat ia mengajar dan melakukan penelitian di bidang statistik administrasi dan pendidikan di bawah Charles H. Judd.
Banyak ide-ide novel Rugg's tentang pengembangan kurikulum yang diterapkan di seri sosialnya 14-volume studi buku, diterbitkan dengan judul umum "Nya Mengubah Manusia dan Masyarakat" antara 1929 dan 1940. Upaya Rugg untuk memberikan pernyataan yang akurat tentang kekuatan dan kelemahan masyarakat Amerika dalam buku pelajaran membawakan tingkat ketenaran yang jarang diduplikasi di kalangan akademisi. Meskipun buku hangat diterima dan banyak dibaca ketika mereka pertama kali muncul, sering dianggap subversif di beberapa kalangan konservatif dan sebagai hasilnya akhirnya dijatuhkan oleh sebagian besar kabupaten sekolah yang menggunakannya. Kontroversi atas buku Rugg menyebabkan salah satu kasus stormiest dan paling sensasional sensor buku teks dalam sejarah pendidikan Amerika. Hal ini masih merupakan studi kasus yang sangat instruktif. Ruug juga menjabat sebagai psikolog pendidikan di Sekolah Lincoln eksperimental. Pada tahun 1934 ia membantu mengorganisasi The Frontier Sosial, sebuah jurnal sangat dihargai untuk analisis sosial dan pendidikan dari sudut pandang liberal. Ia juga melayani selama lebih dari satu dekade sebagai editor studi sosial Senior Scholastic dan selama 11 tahun sebagai editor Journal of Psikologi Pendidikan. Pada berbagai waktu dalam karirnya ia adalah seorang konsultan pendidikan atau dosen tamu di Timur Tengah, Timur Jauh, Eropa Barat, Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Selain itu, ia datang untuk secara umum diakui sebagai delegasi tidak resmi dari American Progresif Asosiasi Pendidikan untuk Pendidikan Baru internasional Fellowship.[7]

B. Prinsip-Prinsip Pemikiran dalam Aliran Rekonstruksionisme
1. Masyarakat dunia sedang dalam kondisi krisis
Krisis dunia yang sedang dialami saat ini antara lain persoalan-persoalan tentang kependudukan, sumber daya alam yang terbatas, kesenjangan global dalam distribusi (penyebaran) kekayaan, prolefirasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit, dan pengunaan teknologi yang ‘sembrono’ dan tidak bertanggung jawab. Jika praktik-praktik yang ada sekarang tidak dibalik (diubah secara mendasar), maka peradaban yang kita kenal ini akan mengalami kehancuran jika tidak dikoreksi sesegera mungkin.
Persoalan-persoalan tadi, menurut kalangan rekonstruksionis, berjalan seiring dengan tantangan totalitarianisme modern, (yakni) hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat luas dan meningkatnya ‘kedunguan’ fungsional penduduk dunia. Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia sudah sedemikian beratnya sehingga tidak bisa lagi diabaikan.
2. Solusi efektif satu-satunya persoalan-persoalan dunia kita adalah penciptaan tatanan sosial yang menjagat.
Mengingat persoalan-persoalannya bersifat mendunia, maka solusinyapun harus demikian. Kerjasama menyeluruh dari semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia dengan segala keterbatasan sumber daya alamnya. Era teknologi telah memunculkan saling ketergantungan dunia, di samping juga kemajuan-kemajuan di bidang sains. Di sisi lain, kita sedang didera kesenjangan budaya dalam beradaptasi dengan tatanan dunia baru. Kita sedang berupaya hidup di ruang angkasa dengan sebuah sistem nilai dan mentalis politik yang dianut di era kuda dan andong.
3. Pendidikan formal dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial.
Sekolah-sekolah yang mereflesikan nilai-nilai sosial dominan, tutur rekonstruksionis, hanya akan mengalihkan penyakit-penyakit politik, sosial, dan ekonomi yang sekarang mendera umat manusia. Sekolah dapat dan harus mengubah secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Tugas mengubah peran pendidikan amatlah urgen, karena kenyataan bahwa manusia sekarang mempunyai kemampuan memusnahkan diri.
Kritik-kritik rekonstruksi sosial menandakan bahwa Brameld dan kolega-koleganya memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan guru dan pendidik lainnya untuk bertindak sebagai intrumen utama perubahan sosial. Komentar kalangan rekonstruksionis bahwa satu-satunya alternatif bagi rekonstruksi sosial adalah kekacauan global dan kemusnahan menyeluruh peradaban dunia. Dari perspektif mereka, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk mengaburkan tuntutan mendesak transformasi sosial dan kemudian merintangi perubahan, atau instrumen untuk membentuk kenyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan.
4. Metode-metode pengajaran
Metode-metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan ‘asali’ jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi persoalan-persoalan umat manusia.
Kalangan rekonstruksionis, seperti aliran-aliran gerakan progresif lainnya, tidaklah tunggal dalam pandangan mereka tentang demokrasi sebagai sistem politik terbaik. Dari perspektif mereka adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih diantara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan sosial.
5. Jika pendidikan formal adalah bagian tidak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia sekarang, maka ia harus secara aktif mengajarkan perubahan sosial.
Pendidikan harus memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan-persoalan sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif memberiakan solusi. Kesadaran sosial kiranya dapat ditumbuhkan jika peserta didik dibuat berani untuk mempertanyakan status quo dan untuk mengkaji isu-isu kontroversial dalam agama, masyarakat, ekonomi, politik dan pendidikan. Kajian dan diskusi kritis akan membantu peserta didik melihat ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatif-alternatif bagi kebijaksanaan konvensional.
Ilmu-ilmu sosial, semisal antropologi, ekonomi, sosiologi, sain politik, dan psikologi merupakan landasan kurikuler yang amat membantu kalangan rekonstruksionis untuk mengidentifikasi lingkup persoalan utama kontroversi, konflik dan inkonsistensi. Peran pendidikan adalah mengungkapkan lingkup persoalan budaya manusia dan membangun kesepakatan seluas mungkin tujuan-tujuan pokok yang akan menata umat manusia dalam tatanan budaya dunia. Masyarakat dunia yang ideal, menurut rekonstrusionisme, haruslah “berada di bawah kontrol mayoritas warga masyarakat yang secara benar menguasai dan menentukan nasib mereka sendiri”.

C. Pandangan-Pandangan dalam Aliran Rekonstruksionisme
a. Pandangan Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita bersifat universal, realita itu ada dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari sesuatu yang konkrit dan menuju ke arah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan, sebagaimana kita lihat di hadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia, serta realita yang kita ketahui dan hadapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunyai dari tiap-tiap benda, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensilitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa setiap relita memiliki perpektif tersendiri.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, yang menurut Bakry[8], aliran ini berpendirian bahwa alam nyata mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan hakikat rohani. Descartes pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidah sulit menerima prinsip dualisme, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap panca indra manusia, sementara itu kenyataan batin segera diakui dengan adanya akal dan perasaan hidup. Dibalik gerak realita sesungguhnya terdapat kausalitas sebagai pendorong dan merupakan penyebab utama atas kausa prima, yang dalam konteks ini ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sunyi dan substansi.
Menurut Syam[9], alam pemikiran yang demikian bertolak dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan yang mencapai kristalisasi paa abad IX-XIV, memberikan argumentasi rasio tentang eksistensi tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama sholastik, menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada sesuatu di alam nyata ini di luar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran yang demikian didukung oleh Thomas Aqiunes yang inti pembicaraannya untuk mengetahui realita yang ada yang harus berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.
b. Pandangan Epistemologi
Kajian epistimologi aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indra maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksestensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksitensi tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pemikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (conclution), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.[10]
Pandangan ilmu dan filsafat tetap diakui urgensinya, dikarenakan analisa empiris dan analisa ontologism keduanya dapat dianggap komplementif, tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum-hukum dalam filsafat itu sediri tanpa bergantung pada ilmu pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang kea rah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafat lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.
c. Pandangan Ontologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan manusia. Tetapi secara umum ruang lingkup (scope) tentang pengertian “nilai” tidak terbatas.
Barnadib mengungkapkan bahwa aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis.[11] Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.
Neo-thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan tuhan, kemudian berfikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya adalah tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran unsur keindahan universal yang abadi.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moal, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajiakan intelektual.[12]

D. Teori Pendidikan Rekonstruksionisme
Menurut Brameld (kneller,1971) teori pendidikan rekonstruksionisme ada 5 yaitu:[13]
1) Pendidikan harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
2) Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
3) Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial.
4) Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi dirinnya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis
5) Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial yang mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal. Meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.


E. Implikasi Aliran Filsafat Rekonstruksionisme dalam Pemecahan Masalah Pendidikan
Aliran rekonstruksionisme melihat adanya krisis atau masalah yang sangat kronis dan mengakhawatirkan terutama dalam persoalan pendidian dalam dunia modern saat ini. Pendidikan pada masa modern telah banyak mengalami pergeseran makna. Pergeseran makna tersebut telah menimbulkan kehidupan modern yang penuh dengan kebobrokan, kerusakan, kebingungan, dan tidak menentunya prinsip manusia, sehingga manusia modern sudah banyak kehilangan jati diri mereka. Aliran rekonstruksionisme menganggap telah terjadi kegagalan dalam sistem pendidikan modern dan mengalami kegagalan dalam pendidikan dunia modern (progresif). Sistem pendidikan modern telah banyak terjebak dalam pendidikan yang bersifat pragmatis. Maka, dari pemikiran-pemikiran para rekonstruksionis dapat diimplikasikan untuk mengatasi permasalahan-permaslahan pendidikan modern yang bersifat progresif. Adapun implikasinya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Rekonstruksionisme Sebagai Perombak Sistem Pendidikan
Rekonstruksionisme sebagai perombak sistem pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa tinjauan pokok, antara lain sebagai perombak sistem pendidikan yang ditinjau dari tujuan pendidikan, metode pendidikan, dan kurikulum pendidikan.
a. Tinjauan dari Tujuan Pendidikan
Hakekat dari tujuan pendidikan adalah menjadikan peserta didik tumbuh dan berkembang lebih baik, yaitu dengan cara menciptakan generasi yang mengalami kemajuan, antara lain memiliki kecerdasan intelektual, cakap, terampil, dan yang terpenting adalah dapat menjadi individu yang berkualitas. Pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia. Berawal dari tujuan pendidikan tersebut, maka sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat. Perubahan dilakukan dengan cara melakukan sebuah perombakan secara menyeluruh sistem pendidikan modern yang memiliki kecenderungan bersifat pragmatis menjadi sebuah pendidikan dengan sistem yang kompleks, yaitu peserta didik yang berkualitas secara menyeluruh sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan yang tertinggi.
Wujud nyata yang ingin dicapai dalam pendidikan rekonstruksionis adalah dapat teraksananya tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis yaitu mengembangkan ”insinyur-insinyur” sosial, warga-warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini.
Adapun tujuan secara spesifik dari pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
b. Tinjauan dari Metode Pendidikan
Banyaknya permasalahan dalam pendidikan menuntut keberanian untuk dapat mengkritisi tentang kegagalan-kegagalan pendidikan modern. Peserta didik diharapkan dapat memberikan sebuah penilaian tentang sistem pendidikan modern, kemudian dapat melakukan sebuah refleksi sebagai usaha pembaharuan sistem pendidikan modern yang cenderung pragmatis.
Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan programatis sangat dibutuhkan sebagai sebuah usaha untuk perbaikan sistem pendidikan masa kini. Dengan demikian, metode-metode pendidikan yang dapat digunakan menurut para rekonstruksionis dalam proses pembelajaran dan pendidikan dapat menggunakan metode-metode yang menuntut keaktifan peserta didik dan keterampilan serta kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah, menganalisis kebutuhan hidup, dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat, karena pada hakekatnya pendidikan dituntut untuk dapat mewujudkan generasi yang mampu mengatasi setiap permasalahan kehidupan secara menyeluruh, bukan hanya sekedar pendidikan yang bertujuan secara pragmatis.
c. Tinjauan dari Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan disusun dengan berisikan mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan. Kurikulum dituntut untuk memuat mata-mata pelajaran yang berorientasi kepada fungsinya yaitu mewujudkan pendidikan yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan berteknologi modern, bahkan dapat memanfaatkan dan mengembangkan teknologi-teknologi modern sebagai suatu alat mengembangkan peradaban kehidupan manusia. Kurikulum dalam sekolah-sekolah rekonstruksionis haruslah dapat mengikuti perkembangan zaman.
Dalam kurikulum pada sekolah-sekolah rekonstruksionis banyak berisi masalah-masalah yang kompleks, yaitu masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia, yang termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik itu sendiri, sehingga peserta didik telah terbiasa dididik untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan hidup secara nyata. Selain itu kurikulum juga berisikan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif.
Struktur organisasi dalam kurikulum sekolah-sekolah rekonstruksionis terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.

2. Rekonstruksionisme Sebagai Perombak Struktur Susunan dalam Pendidikan
Selain rekonstruksionisme sebagai perombak sistem pendidikan, pemikiran dalam aliran rekonstruksionisme juga dapat dijadikan sebagai perombak struktur susunan dalam pendidikan yang dapat diklasifikasikan dalam beberapa tinjauan pokok, antara lain sebagai perombak sistem pendidikan yang ditinjau dari peran peserta didik dan peran pendidik dalam kegiatan belajar mengajar.
a. Peran Peserta Didik
Peserta didik adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat masa depan. Sebagai pembangun masyarakat masa depan tentunya bukan tugas yang mudah, karena tugas tersebut yang menjadikan peran peserta didik sebagai penentu kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Begitu pentingnya peran peserta didik yaitu sosok yang sangat diharapkan suatu bangsa dalam menentukan nasibnya, maka peserta didik perlu berlatih keras untuk menjadi insinyur-insinyur sosial yang diperlukan untuk membangun masyarakat masa depan. Peserta didik harus dibekali pengetahuan secara kontekstual sehingga peserta didik mampu memahami pengetahuan tersebut bukan hanya dari segi intelegensi kognisi saja, akan tetapi peserta didik dituntut untuk dapat lebih memahami bagaimana cara menerapkan pengetahuan itu sendiri sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan.
Peserta didik akan dapat merealisasikan perannya dengan baik manakala didukung oleh faktor-faktor pendukungnya, baik faktor-faktor intern, yaitu faktor-faktor pendukung yang berasal dari diri pribadi peserta didik itu sendiri, maupun faktor-faktor ekstern, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar individu peserta didik.
b. Peran Pendidik
Pendidik merupakan sosok manusia yang memiliki tugas untuk memberikan pembelajaran dan pendidikan kepada peserta didik. Pendidikan yang ideal yaitu pendidikan yang dalam proses pelaksanaannya bukan hanya sekedar melakukan transfer of knowledge atau dengan kata lain hanya ditekankan pada inner knowledge, akan tetapi yang sangat penting untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam kehidupan secara nyata adalah proses pendidikan dengan melakukan transfer of value atau ditekankan pada inner experience. Maka, peran pendidik harus mampu membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, mambatu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga mereka merasa terikat untuk memecahkannya.
Pendidik harus terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan perubahan. Pendidik harus mampu menumbuhkan cara berpikir yang berbeda-beda sebagai suatu cara untuk menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang menjanjikan keberhasilannya. Dalam hal ini Pendidik harus mampu menciptakan inovasi-inovasi terbaru dalam meningkatkan kualitas dari pendidikannya.






















PENUTUP

Kesimpulan
Dalam konteks pendidikan, aliran rekonstruksionisme berupaya melakukan sebuah perombakan dalam pendidikan yang bertujuan untuk merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern serta membina suatu konsensus yang paling luas dan mungkin mengenai tujuan pokok tertinggi dalam kehidupan manusia. Mereka bermaksud ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan adil dengan rekonstruksi-rekonstruksi yang ditawarkannya.
Adapun upaya yang dapat dilakukan oleh aliran rekonstruksionisme untuk dapat memperbaiki sistem pendidikan supaya tidak terkungkung dalam sebuah pendidikan yang amat tradisional dan tidak dapat menyesuaikan perkembangan zaman, akan tetapi juga tidak terjebak dalam pemahaman tentang pendidikan yang pragmatis adalah dengan implikasi-implikasi dari pemikiran-pemikiran pada aliran rekonstruksionisme yang dapat diklasifikasikan menjadi rekonstruksionisme sebagai perombak sistem pendidikan yang dilihat dari tinjauan terhadap tujuan pendidikan, metode pendidikan, dan kurikulum pendidikan, serta rekonstruksionisme sebagai perombak struktur susunan dalam pendidikan yang dilihat dari tinjauan pendidik dan peserta didik itu sendiri.

Rekomendasi
Melihat berbagai permasalahan dalam pendidikan di dunia modern ini, sangat dibutuhkan adanya inovasi baru dalam pendidikan di Indonesia guna melakukan sebuah perombakan secara menyeluruh dalam pelaksanaan pendidikan. Salah satu upaya penciptaan inovasi baru dalam pendidikan adalah dengan mengambil sebuah pemikiran dari aliran rekonstruksionisme, yaitu pendidikan pada masa kini harus lebih peka terhadap permasalahan kehidupan secara nyata, sehingga peserta didik dituntut untuk dapat lebih memahami bagaimana cara menerapkan pengetahuan itu sendiri sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA

Gandhi, Teguh Wangsa. Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
http://www.answer.com/topic/harold-rugg
http://en.wikipedia.org/wiki/George_Counts
http://en.wikipedia.org/wiki/George_Mikhailovich,_Count_Brasov
http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/aliran-rekonstruksionisme-dalam-pendidikan
Jalaluddin & Abdullah Idi. 2010. Filsafat Pendidikan :Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu: Positivisme, PostPositivisme, dan PostModernisme. Yogyakarta: Rakesarasin.
Todd, Emmanuel. 2007. Menjelang Keruntuhan Amerika. Bekasi Timur: Menara.





[1]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 118.
[2]Teguh Wongso Gandhi H. W., Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 191.
[3]Teguh Wongso Gandhi H. W., Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 189.
[4] Emmanuel Todd, Menjelang Keruntuhan Amerika, (Bekasi Timur: Menara, 2007),hlm.48.
[5]Aliran Rekonstruksionisme dalam Pendidikan, from: http://www.nd.edu/~rbarger/www7/gcounts.html, 05/05/2011.
[6]Aliran Rekonstruksionisme dalam Pendidikan, from: http://www.froebelweb.org/web2027.html, 05/05/2011.
[7] Murry Nelson, Gale Encyclopedia of Biography, from: http://www.answer.com/topic/harold-rugg, 05/05/2011.
[8] Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan :Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 98.
[9] Ibid, hlm. 98.
[10] Ibid, hlm. 99.
[11] Ibid, hlm. 100.
[12] Ibid, hlm. 100.
[13] MTP-UNJA 2009, Aliran Rekonstruksionisme dalam Pendidikan, from: http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/aliran-rekonstruksionisme-dalam-pendidikan, 05/05/2011


Yang lain Disini

                                           

Nama Lengkap

Lutfi Hermawan

Tempat & Tanggal Lahir

Kulon Progo, 05 Mei 1991

NIM

09410124

Fakultas

Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga

Jur./Prodi

Pendidikan Agama Islam

Alamat Tinggal

Dukuh III, Nomporejo, Galur, Kulon Progo, DIY

Telp./HP

087839891163

Asal SLTA (Kabupaten)

SMA N 2 Wates

Sabtu, 19 November 2011

Jumat, 18 November 2011

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Allah Yang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Dalam tujuan Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan ditujukan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas yang dideskripsikan dengan jelas dalam UU No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik, cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa depan.
Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu atau pribadi, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1990. Selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan juga diperuntukkan guna pembinaan masyarakat.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filsafat
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasarmengenai kehidupan yang dicita-citakan.
Filsafat juga diartikan sebagai suatu sifat seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.

2.2 Filsafat Pendidikan
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat". Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.


2.3 Epistimologi dan Ontologi
Epistimologi
Yang dimaksud dengan epistimologi ialah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan pengetahuan ialah :
1. Batasan kajian ilmu : secara ontologis ilmu membatasi pada Pengkajian objek yang berada dalam lingkup manusia tidak dapat mengkaji daerah yang bersifat transcendental.
2. Cara menyusun pengetahuan : untuk mendapatkan pengetahuan menjadi ilmu diperlukan cara untuk menyusunnya yaitu dengan cara menggunakan metode ilmiah.
3. Diperlukan landasan yang sesuai dengan ontologis dan aksiologis ilmu itu sendiri
4. Penjelasan diarahkan pada deskripsi mengenai hubungan berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi penyebab timbulnya suatu gejala dan proses terjadinya.
5. Metode ilmiah harus bersifat sistematik dan eksplisit
6. Metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak tergolong pada kelompok ilmu tersebut.
7. Ilmu mencoba mencari penjelasan mengenai alam dan menjadikan kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal.
8. Karakteristik yang menonjol kerangka pemikiran teoritis :
a. Ilmu eksakta : deduktif, rasio, kuantitatif
b. Ilmu sosial : induktif, empiris, kualitatif
Ontologi
Ontologi ialah hakikat apa yang dikaji atau ilmunya itu sendiri. Seorang filosof yang bernama Democritus menerangkan prinsip-prinsip materialisme mengatakan sebagai berikut :
Hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Artinya, objek penginderaan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata.
Jadi istilah “manis, panas dan dingin” itu hanyalah merupakan terminology yang kita berikan kepada gejala yang ditangkap dengan pancaindera.
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam semesta ini seperti adanya, oleh karena itu manusia dalam menggali ilmu tidak dapat terlepas dari gejala-gejala yang berada didalamnya.
Dan sifat ilmu pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam mememecahkan masalah tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Sekalipun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi. Sebagai contoh, bagaimana kita mendefinisikan manusia, maka berbagai penegertianpun akan muncul pula.
Sedang ilmu politik akan menjawab bahwa manusia ialah political animal dan dunia pendidikan akan mengatakan manusia ialah homo educandum.
2.4 Beberapa Aliran Filsafat Pendidikan
2.4.1 Aliran Progressivisme
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987: 228-229)
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan Georges Santayana.
Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
2.4.2 Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang, dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof , menerangkan tentang hakikat social dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah ditentukan dan diatur oleh alam social. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai social angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.
2.4.3 Aliran Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi sseorang untukk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arsah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami factor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepadaperkembangan zaman dulu.
Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik ke arah kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan kea rah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempesiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.

BAB III
PENUTUP

Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing.
Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil ‘alamin segala puji dan sykur penulis panjatkan kepada Alloh yang telah memberikan hidayah dan inayah-nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Tematik” meskipun banyak mengalami hambatan dalam penyumpulan materi, sholawat dan salam semoga tetap disampaikan kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya dan kepada para umatnya yang mengikuti jejaknya.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari akan terbatasnya kemampuan yang dimiliki tidak tertutup kemungkinan masih banyak terdapat kurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca atau dari pembimbing agar dapat dijadikan suatu pelajaran dan upaya guna perbaikan selanjutnya.
Akhirnya penulis berharap semoga penulisan ini dapat memberikan sumbangsih terhadap perkembangan dan kemajuan lembaga khususnya semua unit Departemen Agama. Segala keputusan, penilaian, penulis serahkan sepenuhnya kepada pembimbing, semoga Allah SWT selalu melindungi kita semua. Amiin.

Penyusun

Minggu, 13 November 2011

PENDIDIKAN NASIONAL DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok Mata
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap bangsa dan negara pasti mempunyai cita-cita untuk memajukan negaranya sendiri, agar mampu memposisikan negaranya sejajar atau setara dengan negara lain. Terutama cita-cita dalam bidang pendidikan, hampir semua negara bersaing untuk menjadi nomor satu dari negara lain. Cita-cita dalam bidang pendidikan itulah yang oleh masyarakat Indonesia dirumuskan dalam pendidikan nasional.
Pendidikan nasional adalah pelaksanaan pendidikan suatu negara berdasarkan kepada sosio-kultural, sosio-ekonomis, sosio-psikologis, dan sosio-politis. Pusat orientasinya adalah demi eksistensi bangsa, cita-cita bangsa dan negara, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI No.20 Thn 2003 Pasal 3).
Dalam filsafat pendidikan terdapat beberapa aliran-aliran seperti aliran realisme, idealisme, progresivisme, esensialisme, perenialisme, rekonstruksionisme yang tentunya memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap sistem pendidikan. Bagaimanakah sumbangsih aliran – aliran tersebut terhadap pendidikan nasional?. Apakah aliran-aliran tersebut memberikan dampak positif dan berpengaruh terhadap pendidikan nasional di indonesia?. Selain itu, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tentunya mencerminkan pendidikan di Indonesia. Di Indonesia, filsafat pendidikan nasional disebut juga filsafat pendidikan pancasila. Melihat hal itu, Apakah sistem pendidikan Nasional sudah mencerminkan nilai-nilai dan norma pancasila?. Oleh karena itu melalui makalah ini, penyusun mencoba membahas dan mengkaji tentang pendidikan nasional dan perspektif berbagai aliran filsafat pendidikan tentang pendidikan nasional.



B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun mencoba untuk membahas dan mengkaji sistem pendidikan nasional dan perspektif dari berbagai aliran filsafat pendidikan. Maka, rumusan masalahnya sebagai berikut:
a. Bagaimanakah sejarah pendidikan nasional di Indonesia?
b. Apakah pengertian pendidikan nasional?
c. Bagaimanakah perspektif dari berbagai aliran filsafat pendidikan terhadap pendidikan nasional?
d. Bagaimana implikasi aliran-aliran filsafat pendidikan terhadap pendidikan nasional?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pendidikan Nasional
Fakta sejarah pendidikan nasional di Indonesia tidak terlepas adanya segregasi sosial, dimana terjadi pemisah antara anggota masyarakat yang berpunya dan anggota masyarakat yang tidak berpunya dilihat dari latar belakang ekonomis. Pemisahan tersebut sesungguhnya secara langsung atau tidak langsung mengarah pada era penjajahan kolonial Belanda yang memisahkan masyarakat bumiputra kepada dua kelompok, yaitu masyarakat priyayi atau ningrat yang memiliki kekuasaan dan kekayaan dengan kaum rakyat jelata yang belum jelas masa depannya, karena mereka dipandang sebagai penonton pembangunan pendidikan dalam arti sempit, dan bukan penikmat pembangunan negara bangsa (nation state) dalam arti luas.
Kaum ningrat atau priyayi tadi menerima warisan sejarah dari leluhur mereka yang juga ningrat atau priyayi, atau justru peringkat sosial yang terpandang di mata masyarakat tersebut diperoleh melalui kedekatan pribadi atau kelompok orang dengan penguasa kolonial Belanda. Dengan kata lain kita dapat mengistilahkan sebagian dari kaum ningrat atau priyayi tersebut sebagai "boneka" atau antek-antek penjajah. Namun yang pasti mereka memperoleh pendidikan yang baik dan setara dengan anak-anak Belanda. Oleh karenanya akses pendidikan pada era tersebut lebih berorientasi pada kaum berada yang memiliki kuasa dan kekayaan. Sementara kaum rakyat jelata masih perlu merayap atau bahkan asyik menunggu keajaiban untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Melihat persoalan di atas apakah selamanya pendidikan di Indonesia pada era kemerdekaan ini tidak terlepas dari masalah segregasi sosial? Apakah kemerdekaan negara Indonesia akan mampu menyetarakan pendidikan tanpa perbedaan suku, ras, agama, dan kelas sosial yang menjadi idaman setiap putra-putri terbaik bangsa untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya?
Dari uraian di atas membangun sebuah peradaban selalu dihubungkan dengan pendidikan. Kemudian apakah kita akan meruntuhkan peradaban melalui proses pemiskinan ilmu pengetahuan yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri atau kita sedang merekayasa sebuah proses pembodohan masyarakat secara sistematis.
Di rancanglah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pada bab IV tentang hak dan kewajiban warga negara, orang tua masyarakat dan pemerintah; Pasal 5 ayat (1) menyatakan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Berangkat dari amanat Undang-Undang Sisdiknas tersebut di atas, kita memperoleh gambaran yang jelas bahwa setiap warga negara seharusnya memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu, mulai dari tingkat pendidikan yang terendah sampai dengan yang tertinggi sekalipun, sehingga keinginan-keinginan putra-putri bangsa Indonesia untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dapat tercapai.

B. Pengertian Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional adalah pelaksanaan pendidikan suatu negara berdasarkan kepada sosio-kultural, sosio-ekonomis, sosio-psikologis, dan sosio-politis. Pusat orientasi adalah demi eksistensi bangsa, cita-cita bangsa dan negara, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan pengertian pendidikan nasional berdasarkan pada Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.
Negara Indonesia, seperti negara-negara lain pada umumnya yang mempunyai cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, mempunyai tujuan nasional dalam bidang pendidikan yang kemudian sering diistilahkan sebagai pendidikan nasional.
Sistem Pendidikan nasional di Indonesia sendiri ditetapkan melalui Undang- Undang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 yang ditetapkan dan disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Didalam Undang-Undang tentang sistem pendidikan nasional tersebut berisikan 20 bab 59 pasal yang isinya mengatur tentang sistem pendidikan nasional di Indonesia, mulai dari pengantar, kurikulum, peserta didik, lembaga pendidikan tinggi dan lain sebagainya.
Makalah ini berpusat pada isi Undang-undang tersebut yang akan dikontekskan dengan aliran-aliran filsafat pendidikan. Sebagian dari isi Undang-Undang Sistem pendidikan nasional yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya adalah: dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional Indonesia, peserta didik, tenaga kependidikan, kurikulum, dan ada baiknya dibahas sedikit tentang pasal lembaga pendidikan tinggi.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah berbagai penjelasan tentang :
Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan Nasional
Sesuai dengan Undang-Undang tentang sistem pendidikan nasional BAB II pasal 2, 3, dan 4 bahwa :
Pasal 2
Dasar dari pendidikan Nasional di Indonesia adalah UUD 1945 dan Pancasila.
Pasal 3
Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.
Pasal 4
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Peserta didik
Berdasarkan Undang-Undang No 2 tahun 1989 bahwa peserta didik dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia diatur dalam BAB VI pasal 23-26 yaitu sebagai berikut :
Pasal 23
1. Pendidikan nasional bersifat terbuka dan memberi keleluasaan gerak kepada peserta didik.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 diatur oleh Menteri.

Pasal 24
Setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak sebagai berikut:
1. Mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
2. Mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan.
3. Mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
4. Pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki.
5. Memperoleh penilaian hasil belajarnya.
6. Menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan.
7. Mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat.
Pasal 25
1. Setiap peserta didik berkewajiban untuk :
1. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
2. Mematuhi semua peraturan yang berlaku;
3. Menghormati tenaga kependidikan;
4. Ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban, dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh menteri.
Pasal 26
Peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dengan belajar setiap saat dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing.


Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan dalam UU No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional diatur dalam BAB VII pasal 27-pasal 32 yaitu sebagai berikut :
Pasal 27
1. Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.
2. Tenaga kependidikan, meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.
3. Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen.
Pasal 28
1. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada suatu jenis dan jenjang pendidikan hanya dapat dilakukan oleh tenaga pendidik yang mempunyai wewenang mengajar.
2. Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar.
3. Pengadaan guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pada dasarnya diselenggarakan melalui lembaga pendidikan tenaga keguruan.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
Untuk kepentingan pembangunan nasional, pemerintah dapat mewajibkan warga negara Republik Indonesia atau meminta warga negara asing yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian tertentu menjadi tenaga pendidik.



Pasal 30
Setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan tertentu mempunyai hak-hak berikut :
1. Memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial :
a. Tenaga kependidikan yang memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri memperoleh gaji dan tunjangan sesuai dengan peraturan umum yang berlaku bagi pegawai negeri;
b. Pemerintah dapat memberi tunjangan tambahan bagi tenaga kependidikan ataupun golongan tenaga kependidikan tertentu;
c. Tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memperoleh gaji dan tunjangan dari badan/perorangan yang bertanggung jawab atas satuan pendidikan yang bersangkutan.
2. Memperoleh pembinaan karir berdasarkan prestasi kerja;
3. Memperoleh perlindungan hukum dalam melakukan tugasnya;
4. Memperoleh penghargaan seuai dengan darma baktinya;
5. Menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan yang lain dalam melaksanakan tugasnya.
Pasal 31
Setiap tenaga kependidikan berkewajiban untuk :
1. Membina loyalitas pribadi dan peserta didik terhadap ideologi negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Menjunjung tinggi kebudayaan bangsa;
3. Melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian;
4. Meningkatkan kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa;
5. menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pasal 32
1. Kedudukan dan penghargaan bagi tenaga kependidikan diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasinya.
2. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Pemerintah.
3. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Kurikulum
Kurikulum dalam sistem pendidikan nasional diatur dalam UU No 2 tahun 1989 BAB IX Pasal 37-39 yaitu sebagai berikut :
Pasal 37
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
Pasal 38
1. Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
2. Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri.
Pasal 39
1. Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
2. Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat :
a. Pendidikan pancasila.
b. Pendidikan agama.
c. Pendidikan kewarganegaraan.
3. Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian ajaran tentang :
a. Pendidikan Pancasila;
b. Pendidikan agama;
c. Pendidikan kewarganegaraan;
d. Bahasa Indonesia;
e. Membaca dan menulis;
f. Matematika (termasuk berhitung);
g. Pengantar sains dan teknologi;
h. Ilmu bumi;
i. Sejarah nasional dan sejarah umum;
j. Kerajinan tangan dan kesenian;
k. Pendidikan jasmani dan kesehatan;
l. Menggambar; serta
m. Bahasa inggris.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Dan sebagai pembelajaran kita yang sedang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi), maka kami juga membahas sedikit tentang pasal yang mengatur lembaga pendidikan tinggi di Indonesia berikut ini :
Lembaga Pendidikan Tinggi
Lembaga Pendidikan Tinggi dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia merupakan bagian dari sub bab jenjang pendidikan. Jenjang pendidikan sendiri dalam Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam Bab V UU No 2 tahun 1989 pada bagian keempat pasal 16- pasal 22 sebagai berikut :
Pasal 16
1. Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan /atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan /atau menciptakan pengetahuan, teknologi dan /atau kesenian.
2. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
3. Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, atau kesenian tertentu.
4. Politeknik merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
5. Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu tertentu.
6. Institut merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis.
7. Universitas merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu.
8. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, struktur perguruan tinggi dan penyelenggaraan pendidikan tinggi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
1. Pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
2. Sekolah tinggi, institut, dan universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/ atau profesional.
3. Akademi dan politeknik menyelenggarakan pendidikan profesional.
Pasal 18
1. Pada perguruan tinggi ada gelar sarjana, magister, doktor, dan sebutan profesional.
2. Gelar sarjana hanya diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas.
3. Gelar magister dan doktor diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas yang memenuhi persyaratan.
4. Sebutan profesional dapat diberikan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional
5. Institut dan universitas yang memenuhi persyaratan berhak untuk memberikan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) kepada tokoh-tokoh yang dianggap perlu memperoleh penghargaan amat tinggi berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan ataupun kebudayaan.
6. Jenis gelar dan sebutan, syarat-syarat dan tata cara pemberian, perlindungan dan penggunaannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
1. Gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan digunakan oleh lulusan perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memiliki gelar dan/atau sebutan yang bersangkutan.
2. Penggunaan gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan atau dalam bentuk singkatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 20
Penggunaan gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diperoleh dari perguruan tinggi di luar negeri harus digunakan dalam bentuk asli sebagaimana diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan, secara lengkap ataupun dalam bentuk singkatan.
Pasal 21
1. Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor.
2. Pengangkatan guru besar atau profesor sebagai jabatan akademik didasarkan atas kemampuan dan prestasi akademik atau keilmuan tertentu.
3. Syarat-syarat dan tata cara pengangkatan termasuk penggunaan sebutan guru besar atau profesor ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22
1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
2. Perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi dan penelitian ilmiah.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Selain berbagai hal yang telah dipaparkan diatas, pendidikan nasional sendiri juga mempunyai visi dan misi. Visi dan misi pendidikan nasional ini telah menjadi rumusan dan dituangkan pada bagian “penjelasan” atas UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Visi dan misi pendidikan nasional ini adalah merupakan bagian dari strategi pembaruan sistem pendidikan. Adapun visi dan misi pendidikan nasional adalah sebagai berikut :
Visi Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.Dengan visinya tersebut, maka pendidikan nasional merumuskan misinya, dan misi dari pendidikan nasional adalah sebagai berikut :
Misi Pendidikan Nasional
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

C. Perspektif Aliran Idealisme Terhadap Pendidikan Nasional
Aliran filsafat idealisme telah terbukti memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. Idealisme sangat concer tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus tetap eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan sekedar kebutuhan alam semata.
Para murid yang menikmati penddidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan,”Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu per satu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekedar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
1. Tujuan Pendidikan
Menurut para filsuf idealisme, pendidikan bertujuan untuk membantu perkembangan pikiran dan diri pribadi (self) siswa. Mengingat bakat manusia berbeda-beda maka pendidikan yang diberikan kepada setiap orang harus sesuai dengan bakatnya masing-masing dan memfokuskan kajian pada perkembangan mental pelajar.
Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan filsafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagi atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntut hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum Pendidikan idealisme berisikan pendidikan liberal dan pendidikan nasional atau praktis. Pendidikan liberal dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan-kemampuan rasional dan moral. Pendidikan vokasional dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan suatu kehidupan/pekerjaan.
Kurikulum penganut idealisme menekankan kajian humanitiest (kemanusiaan). Sejarah dan kesusastraan saangat cocok karena kajian ini membantu pelajar dalam usaha pencariannya menemukan sosok manusia dan masyarakat ideal. Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
3. Metode Pendidikan
Tidak cukup mengajarkan siswa tentang bagaimana berfikir, sangat penting bahwa apa yang siswa pikirkan menjadi kenyataan dalam perbuatan. Metode mengajar hendaknya mendorong siswa untuk memperluas cakrawala, mendorong berfikir reflektif, mendorong pilihan-pilihan moral pribadi, memberikan keterampilan-keterampilan berfikir logis, memberikan kesempatan mengggunakan pengetahuan untuk masalah-masalah moral dan sosial, meningkatkan minat terhadap isi mata pelajaran, dan mendorong siswa untuk menerima nilai-nilai peradaban manusia. bisa melalui model diskusi dalam kelas atau studi pustaka di perpustakaan ataupun studi lapangan.
4. Peran Guru dan Siswa
Para filsuf idealisme mempunyai harapan yang tinggi dari para guru. Keunggulan harus ada pada guru, baik secara moral maupun intelektual. Tidak ada satu unsur pun yang lebih penting di dalam sistem sekolah selain guru. Guru hendaknya bekerja sama dengan alam dalam proses menggabungkan manusia, bertanggung jawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi para siswa. Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) guru harulah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) guru harus menjadi pribadi yang baik; (5) guru menjadi teman bagi para murid; (6) guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) guru harus menjadi idola bagi para siswa; (8) guru harus rajin beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan bagi para siswa; (9) guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) guru mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) guru juga harus ikut belajar sebagaimana siswa belajar; (12) guru bersikap demokratis, dll.
Sedangkan bagi siswa, mereka berperan bebas mengembangkan kepribadian dan bakatnya. Peserta didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Jadi guru tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.

D. Perspektif Aliran Perenialisme Terhadap Pendidikan
Aliran Perenialisme memandang bahwa pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh, baik berupa teori maupun praktik bagi kebudayaan dan praktik pendidikan zaman sekarang. Maka dapat dikatakan bahwa aliran ini menginginkan untuk mengembalikan pendidikan zaman sekarang untuk dikembalikan pada kebudayaan dan pendidikan pada masa lampau.
1) Tujuan Pendidikan
Bagi kaum perenialis, nilai-nilai kebenaran adalah bersifat universal dan abadi. Inilaah yang menjadi tujuan pendidikan sejati. Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik menyiapkan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
Sekolah dijadikan tempat untuk mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk menghadapi kehidupan dan mempersiapkan anak didik ke arah keemasan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan.
2) Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan perenialisme bersifat subject centered, berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran bersifat seragam, universal, dan abadi. Selain itu materi pelajaran harus berarah pada pembentukan rasionalitas manusia karena demikianlah hakikat manusia. Materi pelajaran memiliki status tertinggi dalam kurikulum pendidikan.
Prinsip-prinsip kurikulum untuk sekolah dasar berlaku pula untuk sekolah menengah dengan suatu prinsip peningkatan pemasakan akal anak didik. Peningkatan ini adalah dalam bentuk pendidikan umum, yang menuntun perkembangan umum, psikis, dan fisik anak didik yang berumur 12 – 20 tahun. Anak didik yang berumur 12 – 16 tahun kurikulum yang diperlukan terdiri dari bahasa-bahasa asing kuno seperti latin dan Yunani dan bahasa-bahasa modern. Anak 16 – 20 tahun kurikulum yang diperlukan adalah:
a. Yang mendapat kunci dari penalaran seperti logika, retorika, paramasastra dan ilmu pasti.
b. Yang termasuk ke dalam buku-buku besar sepanjang masa. Golongan ini adalah tulisan dari tokoh-tokoh besar pula sepanjang masa.
Golongan yang pertama adalah pengetahuan yang dapat meningkatkan atau mempertinggi kecerdasan akal, sedangkan golongan kedua adalah si hakiki dari kebudayaan. Kelompok-kelompok kemanusiaan di atas bila dilanjutkan pada taraf pendidikan tertinggi dapat merupakan bagian dari pendidikan umum, dan tugas pendidikan umum ini diselenggarakan pada tahun-tahun pertama.
3) Metode pendidikan
Metode pendidikan yang digunakan oleh perrenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendiskusikan karya-karya yang tertuang dalam the greats books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
4) Peran guru dan siswa
Kaum perenialis berpendapat bahwa siswa adalah subyek sekaligus inti dalam pelaksanaan pendidikan, sedangkan guru hanya bertugas menolong membangkitkan potensi yang dimiliki anak didik agar menjadi aktif dan nyata, bukan membentuk atau memberikan kemampuan kepada anak didik.

E. Perspektif Aliran Essensialisme Terhadap Pendidikan Nasional
Essensialisme merupakan aliran filsafat yang lahir dari perkawinan dua aliran filsafat yakni idealisme dan realisme, titik tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealism modern, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Ciri utama essensialisme adalah pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Nilai-nilai yang dapat memenuhi hal tersebut adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini.
Prinsip-prinsip pendidikan menurut aliran essensialisme yaitu:
1. Tugas pertama sekolah adalah mengajarkan pengetahuan dasariah.
2. Belajar adalah usaha keras dan menuntut kedisiplinan.
3. Guru adalah lokus toritas ruang kelas.
4. Sekolah harus mempertahankan metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental.
5. Tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum sebagai tututan demokrasi yang nyata.
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan essensialisme adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang.
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum essensialisme berpusat pada mata pelajaran (subject matter centered). Penekanan kurikulum di sekolah dasar terletak pada kemampuan dasar membaca, menulis dan matematika. Sedangkan di sekolah menengah diperluas dengan perluasan pada matematika, sains, humaniora, bahasa dan sastra.
Idealism memandang bahwa kurikulum hendaknya berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Pandangan Herman Harrell Horne yang digambarkan oleh Bogoslousky, bahwa kurikulum idealism dapat digambarkan sebuah rumah yang mempunyai empat bagian yakni :
1. Universum. Maksud dari universum adalah bahwa pengetahuan merupakan latar belakang dari segala sesuatu manifestasi kehidupan manusia. Di dalamnya ada kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tata surya dan lain-lainnya.
2. Sivilisasi. Bahwa, dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkunganya, mengejar kebutuhannya, dan hidup aman dan sejahtera.
3. Kebudayaan. Merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia dan yang mencakup pengetahuan filsafat yaitu kesenian, kesusastraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4. Kepribadian. Kurikulum merupakan bagian yang bertujuan untuk membentuk kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian ideal. Dalam kurululum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisiologis, emosional, dan intelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut.
3. Peran Sekolah, Guru dan Siswa
Peranan sekolah adalah memelihara dan menyampaikan warisan budaya dan sejarah pada generasi pelajar saat ini, melalui pengalaman-pengalaman yang terakumulasi dari disiplin tradisional. Belajar efektif di sekolah adalah proses belajar yang keras dalam penanaman fakta-fakta dengan penggunaab waktu relatif singkat. Kurikulum dan lingkungan disusun oleh guru, waktu, tenaga, dan semua ditujukan untuk belajar yang esensial.
Siswa pergi sekolah untuk belajar, bukan untuk mengatur pelajaran. Dalam hal ini sekolah bertanggung jawab atas pemberian pengajaran yang logis atau dapat dipercaya. Sekolah juga berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa.
4.Metode Pendidikan
Metode dalam essensialisme lebih bersedia menerima atau menyerap masukan-masukan positif progressivisme, jika dibandingkan dengan perenialisme. Tetapi dalam metode tradisional lebih menekankan pada inisiatif guru.



F. Perspektif Aliran Progressivisme Terhadap Pendidikan Nasional
Progressivisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak bukan pada guru atau bidang muatan. Pendidikan selalu dalam proses pengembangan, penekanannya adalah perkembangan individu, masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan harus siap memperbaharui metode, kebijaksanaannya, berhubungan dengan sains dan teknologi serta perubahan lingkungan. Pendidikan diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang berlangsung terus-menerus. Untuk memperoleh pengetahuan yang benar, kaum progresif sepakat dengan pandangan Dewey, yaitu menekankan pengalaman indera, belajar sambil bekerja dan mengembangkan intelegensi sehingga anak dapat menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Progresivisme pengikut Dewey didasarkan pada asumsi :
1) Muatan kurikulum harus diperoleh dari minat-minat siswa bukannya dari disiplin-disiplin akademik.
2) Pengajaran dikatakan efektif jika mempertimbangkan anak secara menyeluruh dan minat-minat serta kebutuhan-kebutuhannya.
3) Pembelajarannya pada dasarnya aktif.
4) Tujuan pendidikan adalah mengajar siswa berpikir secara rasional.
5) Disekolah, siswa mempelajari nilai-nilai personal dan sosial.
6) Umat manusia berada dalam suatu keadaan yang berubah secara konstan dan pendidikan memungkinkan untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.

G. Perspektif Aliran Rekonstruksionisme Terhadap Pendidikan Nasional
Menurut aliran rekonstruksionis, aliran ini melihat bahwa terdapat masalah atau krisis yang sangat kronis dan mengkhawatirkan terutama dalam persoalan pendidikan dalam dunia modern saat ini. Pendidikan masa modern saat ini telah mengalami pergesera makna yang mengakibatkan kebrobokan, kerusakan, kebingungan, dan tidak menentunya prinsip manusia sehingga menghilangkan jati diri mereka.selain itu, aliran rekonstruksionis juga menganggap bahwa telah terjadi kegagalan dalam sistem pendidikan modern. Sistem pendidikan modern telah banyak terjebak dalam pendidikan yang bersifat pragmatis.

1. Tujuan Pendidikan
Wujud nyata yang ingin dicapai dalam pendidikan rekonstruksionis adalah dapat terlaksananya tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis yaitu mengembangkan “insinyur-insinyur” sosial, warga-warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini.
Adapaun tujuan pendidikan rekonstruksionisme secara spesifik adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka ketrampilan-ketramapilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan aliran ini, banyak berisi masalah-masalah kompleks yaitu masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang dihadapi umat manusia, yang termasuk didalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik itu sendiri, sehingga peserta didik telah terbiasa dididik untuk dapat menyelesaikan permasalahan hidup secara nyata. Selain itu, kurikulum dalam aliran ini, juga berisikan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif.
3. Metode Pendidikan
Menurut aliran rekonstruksionisme, metode pendidikan yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran dan pendidikan adalah metode yang dapat menuntut keaktifan peserta didik dan ketrampilan serta kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah, menganalisis kebutuhan hidup, dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat, karena pada hakekatnya pendidikan dituntut untuk dapat mewujudkangenerasi yang mampu mengatasi setiap permasalahan kehidupan secara menyeluruh.
4. Peran guru dan siswa
Peran guru atau pendidik menurut aliran rekonstruksionisme adalah bahwa pendidik harus mampu membuat peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, membantu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga mereka merasa terikat untuk memecahkannya. Pendidik harus terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan perubahan serta mampu menumbuhkan cara berpikir yang berbeda-beda sebagai suatu cara menciptakan alternatif pemecahan masalah.
Peserta didik dituntut untuk lebih memahami bagaimana cara menerapkan pengetahuan yang dipelajari sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah- masalah pendidikan.

H. Implikasi Beberapa Aliran Pendidikan Terhadap Pendidikan Nasional
1) Tujuan pendidikan nasional sejalan dengan tujuan pendidikan aliran perenialisme
Tujuan pendidikan nasional sejalan dengan tujuan pendidikan aliran perenialisme karena sama-sama mempunyai tujuan untuk membentuk manusia yang berketuhanan dan memiliki prinsip-prinsip kebenaran yang abadi agar mencapai kebajikan dalam hidupnya.
2) Kurikulum pendidikan nasional sejalan dengan kurikulum progresivisme
Kurikulum pendidikan nasional sejalan dengan kurikulum progresivisme, hal ini dapat dilihat dari kesamaan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman sehingga dapat melaksanakan pendidikan yang lebih maju dari sebelumnya.
Selain itu, muatan kurikulum pendidikan nasional seiring dengan kurikulum aliran progresivisme karena dalam muatan kurikulum tersebut sama-sama ingin mengembangkan kemampuan dan ketrampilan peserta didik.
3) Peran peserta didik dan pendidik sejalan dengan aliran perenialisme dan progresivisme
Peserta didik dan pendidik sejalan dengan aliran progressivisme karena sama-sama menekankan kebebasan kepada peserta didik untuk berkembang sesuai potensi yang dimilikinya, sedangkan pendidik hanya berperan sebagai pembimbing dan mengarahkan peserta didik untuk mengembangkan bakatnya.
4) Metode pendidikan sejalan dengan aliran Idealisme
Metode pendidikan nasional sejalan dengan aliran idealisme karena sama-sama memberikan ketrampilan berfikir logis, memberikan kesempatan menggunakan pengetahuan untuk masalah moral dan sosial, meningkatkan minat terhadap isi mata pelajaran dan mendorong siswa untuk menerima nilai-nilai peradaban manusia dan penanaman nilai-nilai agama.





























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan nasional adalah pelaksanaan pendidikan suatu negara berdasarkan kepada sosio-kultural, sosio-ekonomis, sosio-psikologis, dan sosio-politis. Pusat orientasi adalah demi eksistensi bangsa, cita-cita bangsa dan negara, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan pengertian pendidikan nasional berdasarkan pada Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional pendidikan adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.
Berbagai aliran filsafat pendidikan memberikan kontribusi yang positif terhadap pendidikan nasional di Indonesia antara lain yaitu:
1. Tujuan pendidikan nasional sejalan dengan tujuan pendidikan aliran perenialisme
2. Kurikulum pendidikan nasional sejalan dengan kurikulum progresivisme.
3. Peran peserta didik dan pendidik sejalan dengan aliran perenialisme dan progresivisme.
4. Metode pendidikan sejalan dengan aliran Idealisme

B. Saran-saran
Pendidikan nasional hendaknya mengambil sisi positif dari berbagai aliran filsafat pendidikan guna mengembangkan pendidikan serta terpenuhinya tujuan dari pendidikan. Sekaligus dapat memaksimalkan tujuan, kurikulum, peran peserta didik dan pendidik, serta metode pendidikan agar visi dan misi pendidikan nasional dapat tercapai serta hasil akhir dalam proses pendidikan yang ditempuh mencerminkan sikap dan perilaku yang berlandaskan pancasila dan UU Dasar.





DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam.1976. Filsafat Pendidikan System dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Noor syam, Mohammad. 1986. Filsafat Kependidikan Dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.

Sadulloh.Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Th. 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya.1995. Jakarta: Sinar Grafika.
Wangsa Ghandi HW. Teguh. 2011. Filsafat Pendidikan ; mahzab-mahzab fisafat
pendidikan, Yogyakarta: Ar-ruzz Media.