Kamis, 29 Maret 2012

Sabtu, 24 Maret 2012

Ok deh..,kali ini bang wahid akan berikan trik cepat pasang baca selengkapnya atau read more pada blog secara otomatis. Jadi setelah kita pasang read more ini maka akan secara otomatis setiap postingan yang kita buat akan terpotong sendiri secara otomatis sehingga sangat sederhana dan praktistentunya bagi kita-kita yang tidak suka dengan keribetan..,
Banyak situs-situs yang memberikan bagaimana cara memasang read more tapi kebanyakan dari mereka memberikan cara memasang read more yang manual yang harus menentukan sendiri berapa panjang teks yang akan ditampikan pada halaman pertama tentu bagi orang yang awam dan gak mau repot akan merasa terbebani. Oleh karena itu, pada saat ini bang wahid akan mencoba berikan trik memasang read more yang otomatis..,
Langsung saja ya bagi yang berminat dapat melakukan trik di bawah ini..,
1. Login ke akun blogger anda
2. Klik rancangan
3. Klik edit html
4. Centang pada Expand Widget Template
5. Cari kode </head> atau ketik control+ F kemudian ketikkan </head> pada kolom pencarian dengan kemudian masukkan script di bawah ini tepat diatas kode tersebut.

<script type='text/javascript'>
var thumbnail_mode = "float" ;
summary_noimg = 250;
summary_img = 250;
img_thumb_height = 120;
img_thumb_width = 120;
</script>


<script type='text/javascript'>
//<![CDATA[
function removeHtmlTag(strx,chop){
if(strx.indexOf("<")!=-1)
{
var s = strx.split("<");
for(var i=0;i<s.length;i++){
if(s[i].indexOf(">")!=-1){
s[i] = s[i].substring(s[i].indexOf(">")+1,s[i].length);
}
}
strx = s.join("");
}
chop = (chop < strx.length-1) ? chop : strx.length-2;
while(strx.charAt(chop-1)!=' ' && strx.indexOf(' ',chop)!=-1) chop++;
strx = strx.substring(0,chop-1);
return strx+'...';
}


function createSummaryAndThumb(pID){
var div = document.getElementById(pID);
var imgtag = "";
var img = div.getElementsByTagName("img");
var summ = summary_noimg;
if(img.length>=1) {
imgtag = '<span style="float:left; padding:0px 10px 5px 0px;"><img src="'+img[0].src+'" width="'+img_thumb_width+'px" height="'+img_thumb_height+'px"/></span>';
summ = summary_img;
}


var summary = imgtag + '<div>' + removeHtmlTag(div.innerHTML,summ) + '</div>';
div.innerHTML = summary;
}
//]]>
</script>

6. Cari dan ganti kode <data:post.body/> dengan semua kode dibawah ini:

<b:if cond='data:blog.pageType != "item"'>
<div expr:id='"summary" + data:post.id'><data:post.body/></div>
<script type='text/javascript'>createSummaryAndThumb("summary<data:post.id/>");</script>
<span class='rmlink' style='float:left'><a expr:href='data:post.url'>READMORE - <data:post.title/></a></span>
</b:if>
<b:if cond='data:blog.pageType == &quot;item&quot;'><data:post.body/></b:if>


Keterangan :


  1. var thumbnail_mode = "float";: Letak thumbnail berada di “float” kiri atau jika tidak silahkan ganti dengan “no-float”;
  2. summary_noimg = 250;: Jumlah karakter yang akan ditampilkan di posting tanpa gambar / thumbnail;
  3. summary_img = 250;: Jumlah karakter yang akan ditampilkan di posting dengan gambar / thumbnail;
  4. img_thumb_height = 120;: Tinggi thumbnail dalam ukuran piksel;
  5. img_thumb_width = 120;: Lebar thumbnail dalam ukuran piksel;
  6. READMORE-: Tulisan READMORE bisa diganti misalnya dengan “Baca Selengkapnya” dan apabila anda tidak ingin menampilkan judul dibelakang Readmore, Anda bisa menghapus code script ini .

Selesai
Klik Simpan/Save Template
Kemudian tinggal hasilnya dengan cara membuka blog anda..,semoga berhasil..!!

Jumat, 23 Maret 2012

Cara Membuat Teks Berjalan Di Blog


Terkadang kita melihat blog sering dihiasi sebuah teks yang dapat berjalan atau sering disebut teks marque.teks berjalan tersebut dapat bergerak kekanan kekiri maupun keatas kebawah .efek tulisan semacam ini bisa dibuat dengan mudah ,berikut caranya:

Login dahulu ke Blogger
Kemudian klik Tata Letak dan Elemen Halaman
Ketika sudah berada di Elemen Halaman klik Tambah Gadget
Lalu pilih HTML/JavaScript
Langkah selanjutnya masukkan kode marquee yang anda inginkan seperti contoh dibawah ini :

1.Teks berjalan dari kanan ke kiri

kode :<marquee align="center" direction="left" scrollamount="2">Contoh Tulisan Berjalan</marquee>

2.Teks berjalan dari kiri ke kanan

kode :<marquee align="center" direction="right" scrollamount="2"> Contoh Tulisan Berjalan </marquee>

3. Teks berjalan bolak balik

kode :<marquee align="center" behavior="alternate" direction="left" scrollamount="2"> Contoh Tulisan Berjalan </marquee>

4. Teks berjalan dari atas ke bawah

kode :<marquee align="center" direction="down" scrollamount="2"> Contoh Tulisan Berjalan </marquee>

5. Teks berjalan dari bawah ke atas

kode : <marquee align="center" direction="up" scrollamount="2"> Contoh Tulisan Berjalan </marquee>

6. Teks berjalan mondar-mandir

kode : <marquee align="center" behavior="alternate" direction="up" scrollamount="2"> Contoh Tulisan Berjalan </marquee>

7. Teks berjalan zig-zag nembus

kode :<center><marquee align="center" behavior="alternate" direction="up" scrollamount="2" width="90%"><marquee direction="right"> Contoh Tulisan Berjalan </marquee></marquee></center>

8. Teks berjalan zig-zag mantul

kode :<center><marquee align="center" behavior="alternate" direction="up" scrollamount="2" width="90%"><marquee behavior="alternate" direction="right"> Contoh Tulisan Berjalan </marquee></marquee></center>

Kamis, 22 Maret 2012

Materi Pengembangan Media PAI


  • Materi 1



Materi 2

Berangkat dari pengalaman waktu awal dulu mau merubah tampilan blogspot agar tampil menawan kok susah amit, tapi beda dengan sekarang tinggal klak klik tidak sampe 5 menit jadi keren, okeww akan kami ulas caranya cara merubah template standar menjadi non standar hehe.. intinya merubah tampilan sesuai keinginan dan korelasi dengan topik yang di ambil oleh anda, berikut akan kami paparkan tatacara merubah tampilan blog, cara ini untuk code template jika dalam bentuk kode TXT, jika XML caranya bisa meluncur disini

=buka account blog anda


1. Pilih bahasa Indonesia
2. Klik Rancangan (Tata Letak)


3. Klik Edit HTML
4. Jangan Lupa centanglah kotak expand Template Widget
5. Hapus semua kode pada kotak, dan ganti (pastekan) kode Template yang sudah
    teman-teman download
6. Klik Simpan Template dibawah kotak, dan selesai
7. Selamat menikmati template baru Anda

Dapatkan Template Blog kunjungi disini Templates Blog  Gratis
Jika Sudah optimasi blog disini http://www.farisvio.com/2011/08/seo-untuk- blogger.html

Salam Dunia Maya, berikut untuk membuat link dengan menuliskan kode tertentu, ini berguna ketika anda ingin agar pengunjung di blog anda melihat tautan/link atau halaman tertentu /berita tertentu yang anda ingin perlihatkan.


Cara Membuat Link Pada Blog

  • Anda tinggal menulis seperti di bawah ini jika link yang anda inginkan tidak tampil/muncul pada tab baru/window baru.


            <a href='http://luphypamali.blogspot.com'>Tutorial Blog</a>
  • Tips Berikut : Jika link yang anda inginkan tampil/muncul pada tab baru/window baru.

              
            <a href='http://luphypamali.blogspot.com' target='_blank'>Ordinary Blog</a>
          
           Atau:


             <a href='http://luphypamali.blogspot.com' target='new'>Ordinary Blog</a>

  • Oke Selamat Mencoba........

Minggu, 18 Maret 2012


BADAN KOORDINASI TKA-TPA
KECAMATAN GALUR KULON PROGO


Minggu, 11 Maret 2012

Pengembangan Profesi


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di banyak negara, begitu juga di Indonesia, sekolah adalah lembaga yang dibentuk oleh yang dibentuk oleh negara, demi kepentingan negara. Sebagaimana negara menjadi cenderung konservatif, demikian juga sekolah sebagai lembaga bentukannya cenderung tak suka berubah. Karena tuntutan zaman, banyak organisasi yang bergerak maju dan mau berubah. Sekolah termasuk lembaga yang paling malas berubah, atau malah cebderung tidak mau berubah. Karena itu, sekolah pada dasarnya sulit unutk mereformasikan diri.
Karena kelemahannya itu, sekolah terutama guru sering menjadi kambing hitam dari banyak hal yang tidak diinginkan masyarakat. Ketika anak-anak keranjingan televisi, sekolahlah yang bersalah karena tidak memberikan pendidikan media. Ketika sering terjadi tawuran, sekolahlah penyebabnya karena sekolah kurang menanamkam pendidikan nilai. Ketika masyarakat tidak mengenal jauh teknologi, sekolahlah yang disalahkan karena kurang perhatian terhadap perkembngan zaman.
Masih banyak lagi kesalahan yang sering ditimpakan kepada sekolah. Padahal bukan hanya sekolah yang bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi di dunia pendidikan saat ini. Semua anggota mempunyai seharusnya menyadari bahwa ini adalah tanggung jawab bersama. Pendidikan kita akan terjamin dan bermasa depan jika taggung jawab pendidikan tidak hanya dilakukan oleh sekolah. Namun, pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat. Untuk itu makalah ini akan membahas tentang bagaimana demokratisasi pendidikan dalam rangka untuk menghadapi arus globalisasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat demokrasi dan demokratisasi pendidikan?
2. Bagaimana demokratisasi pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana implikasi demokrasi pendidikan?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Demokrasi dan Demokrasi Pendidikan
1. Definisi Demokrasi Pendidikan
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni dari kata demoscratia. Demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan atau undang-undang. Jadi demokrasi adalah kekuasaan atau undang-undang yang berakarkan pada rakyat.
Thurdur Baker mengatakan demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dan menurut Peter Salim, “Demokrasi adalah pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua Negara. Sedangkan menurut Zaki Badawi berpendapat,"demokrasi adalah menetapkan dasar-dasar kebebasan dan persamaan terhadap individu-individu yang tidak membedakan asal, jenis, agama dan bahasa".
Dan apabila dihubungkan dengan pendidikan maka definisi demokrasi pendidikan menurut beberapa ahli adalah sebagaimana berikut:
a. Dalam kamus New book of Knowledge volum 4 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan demokrasi pendidikan adalah demokrasi yang memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua orang, tanpa membedakan suku, kepercayaan, warna dan status social.
b. Vebrianto
Demokrasi pendidikan adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang lama kepada setiap anak (peserta didik) mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuannya.
c. Sugarda Purbakatwaja
Demokrasi pendidikan adalah pengajaran pendidikan yang semua anggota masyarakat mendapatkan pengajaran dan pendidikan secara adil.

d. M. Muchyidin Dimjati dan M. Roqib
Demokrasi pendidikan adalah pendidikan yang berprinsip dasar rasa cinta dan kasih sayang terhadap semua.
Berdasarkan definisi diatas dapat dipahami bahwa demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan hak, kewajiban dan perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap peserta didik dalam proses pendidikan.
Dan menurut Fuad Ichsan definisi demokrasi pendidikan secara luas mengandung tiga hal, yaitu:
a. Rasa hormat terhadap harkat sesame manusia
b. Setiap manusia memililiki perubahan ke arah pikiran yang sehat
c. Rela berbakti pada kepentingan/ kesejahteraan bersama
Dan untuk memiliki hal tersebut maka setiap warga Negara diperlukan:
a. Suatu pengetahuan yang cukup tentang soal-soal kewarganegaraan, ketatanegaraan, kemasyarakatan, soal-soal pemerintahan yang penting.
b. Suatu keinsafan dan kesanggupan suatu semangat menjalankan tugasnya, dengan mendahulukan kepentingan Negara atau masyarakat daripada kepentingan sendiri atau sekelompok kecil manusia.
c. Suatu keinsafan dan kesanggupan memberantaskecurangan-kecurangan dan perbuatan-perbuatan yang menghalangi kemajuan dan kemakmuran masyarakat.
2. Prinsip-prinsip demokrasi dalam pendidikan
Sebelum kita melangkah ke arah prinsip demokrasi dalam pendidikan alangkah baiknya kita mengenal prinsip demokrasi terlebih dahulu, yaitu:
a. Kebebasan
b. Penghormatan terhadap manusia
c. Persamaan
d. Pembagian kekuasaan
Dari prinsip-prinsip demokrasi diatas maka akan ditemukan dalam pelaksanaan pendidikan tidak akan terlepas dengan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan:
a. Hak asasi setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan.
b. Kesempatan yang sama bagi warga Negara untuk memperoleh pendidikan.
c. Hak dan kesempatan atas dasar kemampuan mereka.
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni ia tidak bisa lepas dari dan dalam kehidupan manusia. Hak ini dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama atau kelamin. Setelah dunia mengalami perang yang yang melibatkan hampir seluruh wilayah dunia, timbul suatu keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia dalam suatu naskah internasional. Usaha ini dimulai pada tahun 1948dengan diterimanya Universal Declaration of Human Rights (pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia) oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB. Setelah melalui beberapa perubahan, deklarasi ini berisi tentang hak-hak ekonomi.politik dan sosial.
Islam sebagai agama yang universal juga mengandung prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebagai sebuah konsep ajaran, Islam menempatkan manusia pada kedudukan yang sejajar dengan manusia lainnya. Dalam sejarah konstitusi Islam terdapat dua deklarasi yang memuat hak-hak asasi manusia yang dikenal dengan Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo. Piagam Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk madinah yang heterogen. Sedangkan deklarasi Kairo berisi 24 pasal hak asasi manusia berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.

Dari prinsip-prinsip demokrasi diatas maka dapat dipahami bahwa ide dan nilai demokrasi sangat dipengaruhi oleh alam pikiran, sifat dan jenis masyarakat dimana ia berada. Dan dari sini dapat ditarik beberapa hal yang sangat penting diantaranya:
a. Keadilan dalam pemerataan kesempatan belajar bagi semua warga Negara dengan cara adanya pembuktian kesetiaan dan konsisten pada system politik yang ada.
b. Dalam rangka pembentukan karakter bangsa sebagai bangsa yang baik.
c. Memiliki suatu ikatan yang erat dengan cita-cita nasional.
Dan melihat dari hal-hal diatas, bahwa bangsa Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang lainnya. Untuk itu, dalam pengembangan prinsip demokrasi pendidikan yang harus berorientasikan pada cita-cita dan nilai demokrasi bangsa dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan nilai luhurnya, wajib melindungi dan menghormati hak asasi manusia yang bermartabat dan berbudi pekerti luhur serta pemenuhan setiap hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran nasional dengan mengembangakan potensi yang dimiliki.
Pelaksanaan demokrasi pendidikan di indonesia ini sebenarnya telah diatur sejak diproklamasikan kemerdekaan hingga masa pembangunan saat ini. hal ini tercantum dalam:



1. UUD 45 Pasal 31:
a. Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.
b. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional, yang diatur undang-undang.
2. UU Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional:
BAB III
HAK WARGA NEGARA UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN
Pasal 5
Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Pasal 6
Setiap warga Negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar meperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan sekolah dasar.
Pasal 7
Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan social dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.
3. GBHN di sektor pendidikan sebagaimana berikut:
Ayat 1. Pendidikan nasional berdasarkan pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian disiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta merta jasmani dan rohani. Pendidikan juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta terhadap tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar da mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri sendirinya sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif. Dengan demikian pendidikan nasional akan dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Ayat 8. Dalam rangka memperluas kesempatan untuk memperoleh pendidikan perlu ditetapkan diperhatikan kesempatan belajar dan kesempatan meningkatkan keterampilan bagi anak dari keluarga yang krang mampu, menyandang cacat ataupun bertempat tinggal yang terpencil. Anak didik berbakat istimewa perlu mendapat perhatian khusus agar mereka dapat mengembangkan kemampuan sesuai tingkatan pertumbuhan pribadinya.
Dari apa yang tercantum dalam undang-undang dan GBHN, demokrasi adalah suatu proses untuk memberikan suatu jaminan dan kepastian adanya persamaan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi seluruh warga Negara Indonesia.
Pendidikan memiliki ruang lingkup yang amat sangat luas. Hal tersebut dikarenakan pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Hal tersebut disebabkan karena pendidikan merupakan dasar kesuksesan bagi individu dan masyarakat. Secara umum ada pandangan teoritis umum tujuan pendidikan, pertama pandangan yang berorientasi pada kemasyarakatan dan yang kedua lebih berorientasi pada individu yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar. Oleh karena itu mengapa pemerintah di negara-negara maju sangat memperhatikan pendidikan. Hal itu disebabkan oleh anggapan mereka tentang adanya kekuatan besar dalam pendidikan untuk meningkatkan kemampuan individu dan juga masyarakat dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih maju dan sejahtera.
Hubungan antara demokrasi dan pendidikan sangat erat dan bersifat saling memberi dan saling membutuhkan. John Dewey mengatakan:”Democracy has to be born anew each generation and education is it’s midwife”. Dan menurut Dewey pula, pendidikan tanpa demokrasi akan menjadi kering, menjemukan dan merana. Demokrasi adalah system bentuk kehidupan social yang ditandai dengan kontak interaksi yang terbuka diantara warga masyarakat. Kontak-kontak interaksi ini memungkinkan setiap individu mendapatkan pengalaman yang tidak terbatas. Pengalaman yang diperoleh masing- masing individu ada hakikatnya merupakan pendidikan, sehingga masing-masing individu akan mampu mengembangkan pengalaman yang diperoleh dan dapat memperhitungkan pengalaman baru yang akan diperoleh sebagai hasil mendapatkan pengalaman sebelumnya. Tanpa kontak interaksi tidak akan ada pengalaman, dan tanpa pengalaman tidak ada learning. Dan berikutnya, tanpa ada learning kontak-kontak interaksi social sangat terbatas dan pada gilirannya akan membatasi terwujudnya demokrasi.
Demokratisasi pendidikan adalah implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan mendorong pengelolaan sektor pendidikan pada daerah, yang implementasinya di timgkat sekolah. Gagasan demokratis ini didasari oleh pertimbangan yang simpel, yakni memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan, tidak sekedar dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan. Kemudian, gagasan demokratisasi juga dikembangkan dengan sebuah paradigma baru tentang pelibatan siswa dalam proses pembelajaran, yang juga memberi kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan.
Pendidikan demokrasi merupakan proses sepanjang hayat. Bermula dari pendidikan keluarga,di dalam masyarakat, di sekolah dasar hingga sekolah menengah, diteguhkan di perguruan tinggi untuk dilanjutkan sebagai pola hidup dalam berkarya. Pedidikan demokatis hanya dapat berlangsung dengan lancar apabila kondisi lingkungan juga demokratis. Artinya, orangtua, masyarakat, guru, karyawan, kepala sekolah juga memiliki pola hidup demokraris.

B. Demokrasi Pendidikan di Indonesia
Globalisasi adalah suatu keniscayaan yang takkan terhindarkan. Dan bangsa Indonesia harus mengarungi arus globalisasi tersebut. Membabi buta dan membebek pada globalisasi akan menjadikan pecundang dalam proses globalisasi. Sebagaimana yang dikutip oleh Zamroni dari Gibson-Graham globalisasi merupakan suatu konsep yang sudah masuk dalam pikaran masyarakat, dan merupakan suatu fenomena yang mengandung suatu perubahan yang bersifat majemuk dan drastis dalam keseluruhan aspek kehidupan masyarakat, khusunya aspek ekonomi, politik dan kultural.
Dari aspek ekonomi,perekonomian di Indonesia bergerak ke arah perdagangan bebas, hal ini memperbesar peran tangan-tangan asing untuk menentukan nasib negara-negara miskin. Aspek social politik Indonesia bergerak dari sentralisasi kearah desentralisasi, kehidupan politik dan masyarakat semakin demokratis, kebebasan berpendapat dan berserikat semakin berkembang, dan pers semakin kokoh. Aspek cultural ditunjukan dengan adanya perubahan perilaku masyarakat termasuk dalam berkonsumsi. Semakin deras aliran informasi antar bangsa dan semakin intensnya komunikasi yang terjadi baik dalam sekala nasional maupun internasional.
Globalisasi berdampak luas menyusup dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dampak tersebut mengakibatkan semakin terpuruknya Negara-negara berkembang dan semakin mengokohkan Negara-negara maju. Hal ini dikarenakan negara-negara maju memegang monopoli lima bidang yakni, teknologi, pasar uang dunia, kekuasaan untuk memanfaatkan sumberdaya alam, media komunikasi, senjata penghancur masal. Dan bagaimanakah dampak globalisasi ini pada pendidikan?
Memasuki abad ke-21 isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mulai mencuat ke permukaan. Bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa departemen teknis, dengan tuntunan social equity sangat kuat, karena semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan proses dan hasil pendidikan dari jalur pendidikan akan mempengaruhi proses indeks keberasilan pendidikan secara keseluruhan.
Bersamaan dengan hal itu, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah negara-negara lainnya, baik dalam aspek angka partisipasi pendidikan, maupun rata-ratanya lamanya setiap anak bersekolah. Bahkan dilihat dari indeks SDM, yang salah satu indikatornya adalah sector pendidikan, posisi Indonesia kian turun dari tahun ke tahun. Padahal Indonesia kini sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia. Lemahnya SDM hasil pendidikan berdampak pada lambannya Indonesia bangkit dari keterpurukannya dalam sektor ekonomi yang merosot secara signifikan pada tahun 1998. Hal ini diakibatkan oleh kekeliruan dalam pembangunan yang berjalan cukup lama pada masa orde baru yang menekankan pada pembangunan fisik dan kurang memperhatikan pembinaan sumber daya manusia. Dan hal tersebut berdampak besar terhadap perkembangan pendidikan.
Globalisasi merambah dunia pendidikan melalui beberapa bentuk. Pertama, efisiensi dan dan produktifitas tenaga kerja senantiasa dikaitkan latar belakang pendidikan yang dimiliki. Kedua, terjadi pergeseran kurikulum yang bersifat child centered atau subject centered berubah kearah kurikulum yang bersifat economy-centered vocational training. Ketiga, pendidikan bergeser dari pelayanan umum menjadi komoditas ekonomi. Akibatnya peran, kemampuan dan tanggung jawab pemerintah semakin terbatas.
Hal tersebut membentuk pola pikir materialistic terhadap masyarakat, yang menimbulkan konsekwensi pendidikan bahwa segala aspek pendidikan akan diarahkan dan difokuskan untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi sehingga hal-hal yang bersifat noneconomic akan dikesampingkan. Dan hal ini akan membentuk focus lembaga pendidikan pada client dan customer yang memiliki arti “donator”. Sehingga lembaga pendidikan akan senantiasa didikte oleh kekuatan penyandang dana dan tidak lagi mempersoalkan masalah etika dan pengkajian yang kritis. Selain itu lembaga-lembaga pendidikan akan dipegang oleh orang-orang yang mempunyai modal, dan orang-orang yang kurang mampu akan mendapatkan pendidikan yang ala kadarnya. Dan terciptalah suatu pandangan bahwa pendidikan milik orang yang berduit. Dapat dilihat dari Indikasinya, yakni bisnis pendidikan mulai dirasakan. Maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elit. Membesarnya pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan mutu pendidikan. Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai mempertanyakan eksistensi lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik. Fenomena lain berbagai gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis.
Masalah mahalnya pendidikan antara lain disebabkan kurang adanya komitmen dari pemerintah maupun partai politik untuk memprioritaskan bidang pendidikan. Ini terlihat dari anggaran pendidikan yang sangat minim. Negara sebagai penanggung jawab utama pendidikan nasional seharusnya menyediakan fasilitas pendidikan yang realistik dan memadai. Secara normatif dalam sejarah pernah ada kebijakan negara yang mengamanatkan anggaran pendidikan 25% dari APBN (Tap MPRS No. XXVII /MPRS/1966). Begitu pula di era reformasi UUD 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan 20 % dari APBN. Dalam kenyataan empirik dana pendidikan dewasa ini diperkirakan hanya sekitar 4 % dari APBN.
Pendidikan Indonesia telah didominasi politik yang merupakan akibat adanya transisi politik dari system otoriter ke system demokrasi. Pendidikan yang semula dikelola secara sentralisasi berubah ke arah system desentralisasi. Dan kewenangan pengambilan keputusan didistribusikan ke pemerintah propinsi, pemerintah kota bahkan didistribusikan lansung ke sekolah. Hal ini diharapkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan sekolah dan dapat meningkatkan proses demokratisasi dengan mendorong partisipasi masyarakat. Akan tetapi terdapat berbagai hambatan yang terutama disebabkan oleh kalangan birokrat sendiri yang disebabkan mereka ini tidak memahami dengan benar hakekat desentralisasi pendidikan. Bisa disebut kontra produktif dengan upaya demokratisasi.
Disamping itu, dunia pendidikan Indonesia masih terjerat pada hal-hal teknis, warisan dari orde baru, seperti penekanan yang berlebihan terhadap standar yang dicapai peserta didik, kualitas kelulusan harus dapat diukur dan diperbandingkan baik didalam sekolah, propinsi, maupun luar propinsi, dan menegakkan disiplin atasperaturan-peraturan yang bersifat birokratis dari pada edukatif.
Selain itu, selama ini pendidikan menanamkan pandangan bahwa belajar adalah untuk menghadapi ujian. Ujian merupakan derajat tertinggi yang harus dikuasai dan dilalui. Makna belajar sudah menjadi semakin sempit dan dangkal. Pendidikan melupakan betapa pentingnya memperhatikan dan memberikan penghargaan kepada peserta didik dalam rangka mengembangkan potensi yang dimiliki masing-masing individu secara optimal.
Dalam pergerakan arus globalisasi, pendidikan di Indonesia menghadapi dua masalah besar sekaligus, yakni persoalan internal dan eksternal. Secara internal pendidikan di Indonesia masih dihadapkan dengan synergy berbagai regulasi yang dihasilkan, lemahnya synergy berbagai kebijakan system yang telah dihasilkan oleh pemerintah. Sedangkan secara eksternal, berbagai tantangan dan peluang justru menunggu peningkatan kualitas hasil pendidikan agar mereka kompentitif. Dan untuk itu pendidikan di Indonesia ditutut untuk menghasilkan lulusan yang kopetitif yang memiliki skill, keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Skill dan keterampilan adalah hak semua anak bangsa, semua siswa berhak memperoleh keterampilan, dan skill untuk memasuki pasar tenaga kerja sebagaimana mereka juga berhak untuk memasuki jenjang pendidikan yang setinggi-tingginya. Untuk itu, lembaga pendidikan harus mempersiapkan para siswa dengan berbagai pengalaman, wawasan, keterampilan serta basis keilmuan yang memadai. Sekolah bukanlah sebuah formalitas untuk memiliki ijazah, melainkan proses penguatan kompetensi.

C. Implementasi demokrasi pendidikan
1. Demokratisasi Pendidikan
Nilai-nilai dan cita-cita demokrasi, dalam era modern, merebak hampir bersamaan dengan revolusi industry. Karena sudah bukan hal yang tabu, revolusi industry melahirkan berbagai perubahan dalam kehidupan, baik lingkup keluarga dan dalam hubungan kerja yang menyebabkan kehidupan yang bersifat individualistic, sehingga masyarakat memerlukan tatanan social yang baru yang harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan cita-cita demokrasi.
Untuk membentuk lembaga pendidikan yang sesuai dengan proses globalisasi harus melakukan berbagai upaya dengan mengadaptasi argument William J. Mathis, yaitu:
a. Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi yang terus berpenetrasi pada seluruh aspek kehidupan, sehingga sekolah harus mampu memberikan layanan kepada masyarakat konstituennya secara fair, karena mereka adalah stake holder-nya, dan sekaligus client dari sekolah tersebut. Masyarakat adalah konstributor terhadap sekolah, dan mereka memiliki hak untuk dilayani.
b. Perubahan dunia semakin cepat, dan para siswa harus dipersiapkan untuk menghadapi berbagai perubahan tersebut. Tantangan terdepan adalah keragaman permintaan pasar, dan sekolah harus mampu mempersiapkan orang-orang yang mengisi kebutuhan tersebut. Dan sumber daya manusia yang diterima oleh sekolah juga mengandung keberagaman, sehingga tidaklah fair apabila semua siswa harus memiliki hanya satu keterampila yang sama.
c. Kemajuan tekhnologi dalam semua sector industry dan pelayanan akan menggeser posisi manusia. Dengan demikian pendidikan harus mempersiapkan SDM agar tidak tergeser oleh alat-alat modern tersebut.
d. Peranan wanita semakin menguat dan posisi wanita tidak lagi marginal. Mereka memiliki hak dan peluang yang sama dalam hal pekerjaan dan karir. Tidak ada deskriminasi atas dasar gender.
e. Pemahaman doktrin keagamaan kian terbuka dan inklusif. Agama tidak menjadi halangan untuk kemajuan, tetapi justru mendorong perubahan-perubahan untuk perbaikan.
f. Pekembangan ekonomi yang semakin mengglobal dan peran media masa yang semakin menguat.

Dari gambaran diatas dapat kita suatu upaya dalam demokratisasi pendidikan. Peran pendidikan dalam mewujudkan demokratisasi adalah mengembangkan kepribadian dan watak individu bagi terwujudnya warga Negara yang baik. The Association for Education in Citizenship (1947) menegaskan bahwa setiap peserta didik hendaknya:
a. Diberikan kesempatan penuh mengembangkan dirinya sendiri sebagai seorang individu yang memiliki kepribadian sehingga mampu menikmati hidupnya dengan mengembangkan kemampuannya sendiri dan dapat hidup sesuai dengan realita yang dihadapi.
b. Memiliki kemampuan memainkan peran peran social dan politik secara aktif sebagai warga masyarakat.
c. Disiapkan dengan kemapuan untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan minat dan interesnya.
d. Dikembangkan kemampuannya untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat dan budayanya dengan senantiasa meningkatkan kemampuan dan kreativitasnya.
Dalam kaitannya dengan pendidikan demokrasi, Snauwaret (2001) berpendapat bahwa pendidikan demokrasi senantiasa harus berdasarkan diri terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan, dan menitik beratkan pada tujuan untuk mengembangkan pada diri peserta didik emphaty, respek pada yang lain, dan memiliki pandangan sebagai warga Negara, bangsa dan global.
Demokrasi suatu system social politik yang menekankan bahwa kebebasan individu harus disertai tanggung jawab. Oleh karena itu, demokrasi senantiasa menekankan keberadaan pendidikan yang memadai untuk mengembangkan sikap dan perilakudisiplin warga bangsa. Tanpanya, kebebasan yang dimiliki warga harus dibayar dengan mahal dan akan menciptakan anarki.
Demokrasi yang didasarkan pada keyakinan akan martabat dan kehormatan setiap individu hanya akan berhasil apabila didampingi dengan pendidikan yang bertujuan mengembangkan manusia seutuhnya. Oleh karena itu, pendidikan demokrasi harus menekankan pada pengembangan intelektual skill yang ditekankan pada critikcal thinking peserta didik, personal skill dikembangkan pada percaya diri dan political self efficacy, dan social skill ditekankan empati dan respek pada orang lain, kemampuan untuk berkomunikasi dan memiliki toleransi. Dan hal ini akan terjadi apabila sekolah dapat menstransfer pengajaran yang bersifat akademis sempit kedalam realitas kehidupan yang amat luas di masyarakat.
Dan secara singkatnya, pendidikan demokrasi memiliki empat tujuan:
1. Mengembangkan kepribadian peserta didik sehingga memiliki sikap empati, respek, toleransi dan kepercayaan pada orang lain.
2. Mengembangkan kesadaran selaku warga suatu bangsa dan warga dunia.
3. Meningkatkan kemampuan mengambil keputsan secara rasional efisiensi individu.
4. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi diantara sesama warga.
Pendidikan untuk demokrasi memerlukan dua hal: kultur sekolah dan kurikulum, khususnya ilmu pengetahuan social yang memadai untuk mengembangkan demokrasi. Kultur sekolah dan dinamika hubungan serta interaksi yang terjadi disekolah merupakan factor yang amat penting bagi setiap peserta didik untuk menghayati the way of life dan nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan antar pribadi diantara mereka. Dan pendidikan demokrasi akan berjalan apabila sekolah itu sendiri bersifat demokratis, memiliki kultur demokrasi yang mengilhami nilai-nilai, cita-cita, prinsip-prinsip yang akan mendorong setiap warga sekolah dalam praktek sehari-hari akan mencerminkan suatu kehidupan social yang demokratis. Selain itu kurikulum sebagai jantung pendidikan harus memberikan kesempatan peserta didiki untuk memperoleh pengalaman untuk mengembangkan watak, keyakinan, cita-cita, dan sikap serta perilaku yang cocok dengan nilai-nilai demokrasi.
2. Pengembangan demokratisasi kurikulum
Kurikulum yang bisa mengantarkan siswa sesuai dengan harapan idealnya bukan hanya kurikulum yang dipelajari saja tatapi merupakan kurikulum yang secara teoritis bisa mempengaruhi siswa, baik menyangkut lingkungan sekolah, suasana kelas, pola interaksi guru dan siswa dalam kelas, bahkan pada kebijakan dan menanjemen sekolah secara lebih luas. Kurikulum merupakan jantung pendidikan. Sehingga kurikulum selalu mengalami pengembangan agar kemampuan siswa dapat sesuai dengan tuntutab dan tantangan perkembangan zaman.
Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu : tujuan-tujuan pendidikan, isi pendidikan, penglaman belajar, dan penilaian. Interelasi antara keempat aspek tersebut serta antar aspek-aspek tersebut dengan kebijakan pendidikan perlu selalu mendapat perhatian dalam pengembngan kurikulum .
Pengembangan kurikulum merupakan proses yang komplek terdiri dari berbagai kegiatan mengakses kebutuhan, mengidentifikassi harapan hasil belajar, mempersiapkan proses pembelajaran untuk mencapai outcome hasil belajar dan menyesuaikan program pembelajaran dengan budaya, sosial dan berbagai kebutuhan orang-orang yang untuk merekalah kurikulum tersebut disiapkan . Dalam pengembangan kurikulum terdapat berbagai aspek yang harus dianalisis antara lain
a. Kebijakan, yakni kebijakan pokok tentang kurikulum itu sendiri yang meliputi tujuan, struktur kurikulum dan prosedur penyusunan kurikulum.
b. Standar kelulusan yang diharapkan serta pencapainnya. Keduanya harus dianalisis untuk mencari kesenjangan antara keduanya.
c. Mengakses berbagai opsi rumusan tujuan dengan orang-orang terkait untuk menetapkan prioritas yang akan dijadikan rumusan akhir dalam kurikulum.
Pengembangan kurikulum harus didasarkan pada hasil analisis terhadap berbagai permintaan klien. Klien utama sekolah adalah siswa, merekalah yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum, dengan menganalisis tingkat usia, kemampuan intelegensi, latar belakang yang terkait dengan pengembangan kurikulum pada mata pelajaran tertentu, arah kompetensi yang akan diberikan, cita-cita ke depan serta berbagai permasalahan yang dihadapi siswa.
Selain siswa, masyarakat juga berpengaruh dalam pengembangan kurikulum. Yakni masyarakat yang lekat dengan sekolah yaitu orang yang menginspirasi sekolah dalam menyusun kurikulumnya untuk konservasi maupun perubahan ke arah kemajuan . Kendatipun demikian, aspek konsep keilmuan tidak bisa dikorbankan. Pengembangan kurikulum harus tetap memperharikan struktur kelimuan, karena siswa harus diberi pelajaran yang benar dalam setiap bidang ilmu, sehingga mereka memiliki peluang untuk mengembangkan ilmu tersebut.
Pengembangan kurikulum merupakan tugas rutin dari sekolah, karena harus dilakukan secara reguler, berkala dan konsisten. Oleh sebab itu, sekolah harus mempunyai tim yang bertanggung jawab dalam pengembangan kurikulum. Mereka harus banyak menyerap banyak informasi dari siswa, orangtua serta berbagai kalangan terkait dengan kurikulum sehingga mampu merekontruksi kurikulum sekolah yang mempunyai validitas dengan dukungan masyarakat yang sangat kuat. Hasil kajian tim inilah yang akan diimplementasikan oleh guru dalam kelas.
3. Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu isu yang kuat didorong ke permukaan dalam konteks implementasi. Keberhasilan manajemen berbasis sekolah di beberapa negara maju kini mulai nampak pada negara-negara berkembang,bahkan Indonesia yang kini sedang melakukan reformasi pendidikan, mengangkat konsep manajemen berbasis sekolah sebagai salah satu paket dari paket reformasi pendidikan.
Menurut Joseph Murphy manajemen berbasis sekolah merupakan sebuah proses formal yang melibatkan kepala sekolah, guru, siswa, orangtua, dan masyarakat yang berada dekat dengan sekolah dalam proses pengambilan berbagai keputusan . Manajemen berbasis sekolah ini diadopsi dan diangkat ke permukaan sebagai sebuah subsitusi terhadap pola pengambilan berbagai kebijakan pengembangan sekolah, dari mulai kurikulum, strategi, evaluasi dan berbagai sarana pembelajaran lainnya, yang semula lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat atau daerah. Dalam manajemen berbasis sekolah, semua itu lebih banyak digagas oleh sekolah.
Kewenangan sekolah untuk secara otonom memutuskan sendiri bersama mitra horisontalnya ada lima perkara, yaitu :
a. Perumusan berbagai tujuan merupakan otoritas yang seharusnya diotonomisasikan pada sekolah, karena sekolah sangat mengetahui apa yang harus diperbaiki, ditingkatkan atau diadakan serta dikembangkan.Dalam pola manajemen berbasis sekolah, penyusunan program-program strategis yang harus berbasis pada kenyataan sekolah dan harapan-harapan klien, analisis kebutuhan dan permintaan klien harus dilakukan dengan menganalis kebutuhan dan permintaan stage holder sekolahnya sendiri
b. Pembiayaan merupakan jantungnya manajemen berbasis sekolah. Kontrol terhadap kurikulum dan personalia sangat tergantung pada keuangan.
c. Personalia yakni kewenangan sekolah untuk menentukan rencana pengadaan, serta pembinaan tenaga yang ada, karena sekolahlah yang paling tahu kebutuhan tenaga pengajarnya.
d. Kurikulum. Biasanya pembiayaan disusun untuk mendukung pelaksanaan kurikulum yang disusun oleh pemerintah pusat. Dalam manajemen berbasis sekolah otonomi dilakukan secara totalitas termasuk kurikulum. Namun, tampaknya Indonesia belum mampu sepenuhnya melepas penyusunan kurikulum pada sekolah. Depdiknas telah menyiapkan outline tentang kompetensi yang harus dijangkau beserta indikator kompetensinya, dengan tetap memberi ruang pada sekolah unutk mengembngkan keunggulannya.
e. Struktur organisasi yang mendukung terhadap proses pendelegasian kewenangan tersebut,agar ada divisi yang dapat melakukan pengelolaan sarana dan prasarana, pengembngan teknologi dalam pelayanan adsminitrasi maupun sumber belajar. Sehingga sekolah mampu berkembang serta maju seiring kemajuan teknologi.
Dalam manajemen berbasis sekolah, masyarakat mempunyai peran penting dalam pengembangan sekolah. Terdapat dua kategori masyarakat sekolah, yaitu pertama, unsur-unsur sekolah, yang jika salah satu unsur tersebut tidak ada maka proses persekolahan menjadi terganggu. Inilah yang bias disebut stage holder.oleh sebab itu, dalam konotasi ini kepala sekolah, guru, orangtua siswa, siswa dan pemerintah termasuk di dalamnya.
Yang kedua adalah unsur-unsur yang diharapkan dapat memberi masukan dalam pengembangan program sekolah, pengembangan kurikulum dan pengembangan dan pembinaan personil sekolah. Kelompok inilah yang disebut dengan komite sekolah. Keanggotaan komite sekolah bervariasi. Ada yang hanya memperluas stake holder dengan unsur pakar dan tokoh masyarakat setempat dan ada lagi yang lebih pro-posional sehingga tidak semua unsur stage holder memiliki perwakilan dalam komite sekolah.
Tugas komite sekolah antara lain sebagai berikut :
a. Mengembangkan akses sekolah pada bidang dana.
b. Mengembangkan budgetting sekolah dalam konteks pengembangan kemampuan pembiayaan untuk mendanai program sekolah.
c. Memutuskan struktur anggaran sekolah.
d. Berpatisipasi dalam pemilihan kepala sekolah dan wakil kepala sekolah
e. Ikut serta dalam curah pendapat tentang kurikulum dalam konteks peningkatan kualitas hasil pembelajaran dan memberikan masukan-masukan pada sekolah tentang kualifikasi kompetensi siwa yang akan dihasilkan sekolah.







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan hak, kewajiban dan perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap peserta didik dalam proses pendidikan. Dan demokrasi dalam pendidikan mengfandung unsur:
1. Hak asasi setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan.
2. Kesempatan yang sama bagi warga Negara untuk memperoleh pendidikan.
3. Hak dan kesempatan atas dasar kemampuan mereka.
Demokratisasi pendidikan di Indonesia diatur dalam UUD 45 Pasal 31, UU Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional dan GBHN di sector pendidikan.
Masuknya era globalisasi banyak mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Pendidikan merupakan hak segala bangsa, dan dengan derasnya arus globalisasi, pendidikan dituntut untuk mampu menghasilkan orang-orang yang memiliki skill, keterampilan dan keahlian yang mampu bersaing dalam kehidupan global.
Demokratisasi pendidikan dapat terlihat pada pengembangan kurikulum sekolah dimana dalam pengembangan kurikulum tersebut masyarakat dilibatkan secara langsung dalam pengembangan dan pengambilan keputusan. Namun upaya tersebut tidak akan efektif membawa perubahan tanpa didukung dengan pola pengelolaan yang sesuai. Oleh sebab itulah, model manajemen yang harus dikembangkan adalah manajemen yang demokratis,yang memperbesar keterlibatan teamwork dalm perencanaan dan pengambilan keputusan.






DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Syamsul. 2001. Paradigma Pendidikan Berbasis Plralisme dan Demokrasi. Malang: UMM Press
Ihsan, Fuad. 2008. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Ramayulis. 2008. Ilmu pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Rosyada, Dede. 2007. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Shindunata.2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: kanisius
Sukmadinata, Nana Syaodih.2010.Pengembangan Kurikulum.Bandung: Remaja Rosda Karya
Zamroni. 2007. Pendidikan dan Demokrasi Dalam Transisi. Jakarta: PSAP

                                                             

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bahkan Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut Atho’ Mudzhar multikulturalitas bangsa Indonesia ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perbedaan vertikal dan perbedaan horizontal. Perbedaan vertikal ditandai dengan realitas adanya pelapisan sosial atas-bawah dalam struktur kemasyarakan sebagai akibat perbedaan masing-masing individu di bidang politik, ekonomi, sosial dan pendidikan. Sedangkan perbedaan horizontal adalah perbedaan masyarakat berdasarkan kesatuan sosial budaya suku, ras, bahasa, adat-istiadat dan agama.

Multikulturalitas bangsa Indonesia ini bisa diibaratkan pisau bermata ganda. Di satu sisi ia menjadi potensi yang berharga dalam membangun peradaban bangsa, disisi lain apabila tidak dapat dikelola dengan baik, multikulturalitas tersebut akan memunculkan konflik yang mampu menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan disintegrasi bangsa. Perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi beban atau kekayaan tergantung bagaimana cara mengolahnya. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang telah dicetuskan oleh para founding fathers bangsa ini, diharapkan masyarakat Indonesia dapat hidup bersama berdampingan dalam suasana aman, damai, dan sejahtera.

Sungguhpun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang plural seringkali terjadinya konflik yang pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya stabilitas dan ketidakharmonisan. Di Indonesia seringkali muncul fenomena kekerasan seperti konflik etnis, konflik antar umat beragama, dan konflik lainnya. Salah satu contoh masalah yang dapat kita temui dalam kehidupan beragama yang plural ini adalah kecurigaan dan kesalahfahaman dari satu penganut agama terhadap sikap dan perilaku agama lain, malah juga terhadap sesama penganut agama tertentu. Hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme itu.

Agaknya menarik perhatian kita untuk berfikir ulang tentang peran agama, lebih khusus pendidikan agama Islam dalam mewarnai kehidupan masyarakat yang majemuk ini. Pendidikan Islam harus mampu menumbuhkan kesadaran pluralism-multikulturalisme sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, apa pun jenis perbedaannya, serta bagaimana agar perbedaan tersebut diterima sebagai hal yang alamiah (natural, sunnatullah) dan tidak menimbulkan tindakan diskriminatif, sebagai buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka.

Makalah ini berusaha membahas tentang hakikat pendidikan multikulturalisme dan penerapannya di Indonesia serta urgensi pendidikan Islam dalam membangun kesadaran multikulturalisme dalam masyarakat multikultural yang sarat dengan permasalahan seperti telah disebutkan. Dengan problem-problem tersebut, apa yang bisa ditawarkan oleh lembaga pendidikan Islam untuk turut andil mengatasinya sehingga pada akhirnya pendidikan Islam mampu memberikan kontribusinya terhadap stabilitas nasional.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa hakikat multikulturalisme dan pendidikan multikulturalisme?

2. Bagaimana pendidikan multikultural di Indonesia?

3. Apa urgensi pendidikan multikulturisme di Indonesia?

4. Bagaimana peran pendidikan agama islam dalam membangun multikulturalisme di Indonesia?

5. Bagaimana implikasi pendidikan multikulturalisme?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

1. Pengertian Multikulturalisme

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologi, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.[1] Dengan demikian setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Multikultural juga mengandung arti keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan.[2]

Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagamaan, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam atau multikultur. Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. [3]

Paradigma multikulturalisme memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi dan respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Diharapkan dengan kesadaran dan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya hingga orientasi politik, akan bisa mereduksi berbagai potensi yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.

2. Pendidikan Multikulturalisme

Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul dalam dunia pendidikan. Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan multikulturalisme adalah masyarakat yang secara objektif memiliki anggota plural. Paling tidak keranekaragaman masyarakat itu bisa dilihat dari eksistensi keragaman suku, ras, agama, dan budaya.[4]

Pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep muncul karena ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong. wacana pendidikan multikultural pada awalnya muncul di Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin gencar dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh, dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.

Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.

Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar ke kawasan di luar Amerika Serikat, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama, dan budaya. Sekarang, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.

Penafsiran tentang pendidikan multikultural banyak perbedaan antara satu pakar dengan pakar lainnya. Menurut pendapat Andersen dan Cusher, bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian menurut james Banks mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/sunatullah).

Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.

Dalam bukunya Multikultural Education : Teacher Guide to Linking Context, process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan kata lain bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar belakangnya maupun basis sosial budaya yang melingkupinya.[5]

James Bank (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu : Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran. Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial (sosial). Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.[6] Selain keempat dimensi pendidikan multikultural yang telah disebutkan di atas dalam bukunya HAR Tilaar menambahkan dimensi pemberdayaan budaya sekolah sebagai salah satu dimensi pendidikan multikultural. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dipandang sebagai pintu gerbang untuk melaksanakan tugas pengembangan budaya bagi peserta didik. Sebagai pintu gerbang, maka sekolah harus memiliki kekuatan strategis untuk menciptakan budaya positif sesuai dengan falsafah masyarakat. Sekolah harus merupakan suatu motor penggerak dalam perubahan struktur masyarakat yang timpang.[7]

Dari berbagai definisi yang telah disampaikan oleh para pakar tersebut dapat diambil dasar-dasar pelaksanaan pendidikan multikulturalisme, yaitu :

1. Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah proses pengembangan (developing). Yaitu sebagai suatu proses yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Proses ini biasa dilakukan di mana saja, kapan saja, untuk siapa saja dan berkaitan dengan siapa saja.

2. Pendidikan multikulturalisme mengembangkan seluruh potensi manusia, yaitu potensi yang ssebelumnya sudah ada dan diimiliki oleh manusia. Yaitu potensi intelektual, sosial, religius, moral, ekonomi, teknis, kesopanan, dan tentunya etnis budaya.

3. Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang menghargai pluralitas. Pendidikan yang menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, dan aliran agama, yaitu sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan.[8]

Ada enam tujuan pendidikan multikultural, yaitu: Pertama, mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat. Kedua, memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat. Ketiga, memperkuat kompetensi intelektual dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat. Keempat, membasmi berbagai prasangka. Kelima, mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi. Keenam, mengembangkan keterampilan aksi sosial.

B. Pendidikan Multikultural di Indonesia

Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk, betapa tidak, negara ini dihuni oleh suku bangsa yang plural dengan aneka ragam agama/kepercayaan, suku (yang tersebar dilebih dari 17.000 pulau) bahasa daerah yang mencapai lebih dari 500 bahasa dan budaya. Setiap individu yang hidup di negara ini pasti berhadapan dengan kebhinekaan, kemajemukan menyusup dan merasuk dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan., tak terkecuali dalam hal kepercayaan dan budaya.

Tetapi paradigma ini tidak efektif, karena pemahaman terhadap budaya lain juga masih cenderung disalah artikan sebagai upaya untuk mengerti sifat-sifat negatif orang lain tanpa mengimbangi dengan pemahaman terhadap nilai-nilai positifnya. Akibatnya berbagai macam perasaan etnosentrisme, stereotype, pelabelan negatif, dan prejudice cultural tetap menguat di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, banyak ahli yang berkesimpulan bahwa konflik sosial antar kelompok yang masih timbul di masyarakat berkaitan dengan paradigma pembangunan dan pendidikan yang dianut selama ini. Artinya, paradigma itu masih belum tepat untuk masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.

Belakangan ini (terutama setelah reformasi) di Indonesia mulai menguat gagasan untuk mengadopsi multikulturalisme. Banyak ahli yang memandang faham ini sangat layak dijadikan paradigma dalam proses pembangunan di Indonesia. Bertolak dari semangat untuk menerapkan paradigma multikultural ke dalam sistem pembangunan, sekarang ini tampak mengedepankan gagasan untuk menerapkan pola-pola pendidikan multikultural di sekolah-sekolah formal, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan kepramukaan, kewirausahaan, dan kewarganegaraan (PKn) sesungguhnya dilakukan sebagai bagian dari proses usaha membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan.

Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.

Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain yang salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.



C. Urgensi Pendidikan Multikultural

Sebagaimana hakikat manusia dan sifat dasar manusia yang harus dihormati dan dihargai, ada dimensi-dimensi utama manusia dan kebutuhannya.

Pendidikan multikultural sebagai pendidikan alternatif patut dikembangkan dan dijadikan sebagai model pendidikan di Indonesia dengan alasan:

1. Realitas bahwa Indonesia adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, bangsa, etnis, agama, dengan bahasa yang beragam dan membawa budaya yang heterogen serta tradisi dan peradaban yang beraneka ragam.

2. Pluralitas tersebut secara inheren sudah ada sejak bangsa indonesia ada.

3. Masyarakat menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialisasi dan kapitalis yang mengutamakan golongan atau orang tertentu.

4. Masyarakat tidak menghendaki kekerasan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan hak setiap orang.

5. Pendidikan multikultur sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasn dan kesewenang-wenangan.

6. Pendidikan multikultural memberikan harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini.

7. Pendidikan multikultural sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, kealaman, dan keTuhanan.[9]

D. Peran Pendidikan Agama Islam dalam Membangun Multikulturalisme di Indonesia

Sebelum membahas tentang peran PAI dalam membangun multikulturalisme di Indonesia, alangkah lebih baiknya kita mengetahui pandangan Islam terhadap prinsip multikulturalisme. Islam sebagai agama diturunkan untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian. Dengan demikian, segala bentuk terorisme, brutalisme, perusakan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim radikal yang mengatasnamakan Islam sebenarnya bertentangan dengan watak dasar dan misi damai Islam itu sendiri. Tidak ada doktrin dalam Islam juga agama-agama yang lain yang mengajarkan terorisme, brutalisme, perusakan, pembakaran atau pun tindak tanduk kekerasan lainnya.[10]

Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai, meletakkan konsep dan doktrin yang memberikan rahmat bagi al-‘alamin. Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normative, sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultural begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota sosial. Dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang kewajiban seorang Muslim untuk menjadi juru damai, yaitu senantiasa menjaga kedamaian dan kerukunan hidup dalam lingkungannya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa : 114, yang artinya : “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka , kecuali menyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat makruf (baik), atau melakukan islah (perdamaian) di antara manusia”. Kewajiban ini tidak hanya ditujukan kepada saudara seagama saja, sebab Allah SWT, secara tegas menyatakan bahwa manusia berasal dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), sehingga mereka semua bersaudara.

Lebih jauh, ajaran Islam juga mewajibkan umatnya mencegah segala bentuk penganiayaan yang hendak dilakukan oleh “saudaranya” kepada “saudaranya” yang lain. Sebagaimana termaktub dalam hadits Rasul,yang artinya: “Tolonglah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya. Seorang sahabat bertanya, waha Rasulullah, kami pasti akan menolongnya jika ia teraniaya, akan tetapi bagaimana kami menolongnya jika ia berlaku aniaya?, Nabi menjawab: Halangi dan cegahlah dia agar tidak berbuat aniaya. Yang demikian itulah pertolongan baginya”. (HR Bukhori).

Demikian agungnya ajaran Islam, sehingga sebenarnya jika seorang Muslim mau bersungguh dalam mempelajari dan mengamalkannya secara utuh (kaffah), maka keberadaan umat Islam akan benar-benar menjadi rahmat bagi lingkungannya (rahmatan lil ‘alamin).[11]

Di antara nilai-nilai Islam yang menghargai pluralis multikultural adalah :

1. Konsep kesamaan (as-sawiyah) yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya. Satu-satunya pembedaan kualitatif dalam pandangan Islam adalah ketakwaan. Pada waktu melakukan ibadah haji terakhir Nabi Muhammad SAW membuat pernyataan dengan etika global: “Wahai umat manusia, semua orang berasal dari Adam sedang Adam dari ekstrak tanah. Orang Arab tidak lebih mulia daripada non-Arab, orang kulit putih tidak lebih mulia daripada orang kulit hitam, kecuali karena kelebihan ketaqwaannya” (HR Abu hurairah).

Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap seseorang berdasarkan ras, agama, etnis, suku, ataupun kebangsaannya, hanya ketaqwaan seseoranglah yang membedakannya di hadapan Sang Pencipta.

2. Konsep keadilan (al-‘adalah) yang membongkar budaya nepotisme dan sikap-sikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hokum, hak dan kewajiban, bahkan dalam praktik-praktik keagamaan. Al-Qur’an memerintahkan kita berlaku adil terhadap siapapun (An-Nisa’:58), jangan sampai kebencian terhadap suatu pihak itu mendorong untuk tidak berlaku adil (Al-Maidah:8). Adil harus dilakukan terhadap diri sendiri, keluarga, kelompok, dan juga terhadap lawan.

3. Konsep kebebasan atau kemerdekaan (al-hurriyah) yang memandang semua manusia pada hakikatnya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba sesama manusia. Berakar dari kensep ini, maka manusia dalam .pandangan Islam mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi, memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan agamapun tidak dapat dipaksa seperti tercantum dalam Qur’an surat Al-Baqoroh:256.

4. Konsep toleransi (tasamuh) yang merupakan sikap membiarkan dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Dengan demikian, toleransi dapat diartikan memberikan kemerdekaan kepada golongan kecil untuk menganut dan menyatakan pandangan-pandangan politik dan agamanya, memberikan hak-hak istimewa seperti yang diperoleh golongan besar.

Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama bukanlah toleransi dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antara orang yang tidak seagama, dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.

Suatu tanda bahwa ada sikap dan suasana toleransi diantara sesama manusia, atau katakanlah diantara pemeluk agama yang berbeda ialah ketika adanya sikap mengakui hak setiap orang, menghormati keyakinan orang lain, setuju dalam perbedaan, saling mengerti dan adanya kesadaran serta kejujuran.

Berdasarkan keterangan di atas dat dipahami bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sudah mengembangkan prinsip-prinsip multikulturalisme jauh sebelum wacana multikulturalisme itu muncul. Islam adalah agama yang sempurna, di dalamnya ada aturan-aturan tentang urusan dunia dan akhirat. Diantaranya adalah terdapat dasar-dasar peraturan untuk hidup berdampingan secara damai dengan siapapun.

Dengan demikian, seseorang tidak boleh mencela, mencaci, mengumpat, menganggap rendah, berprasangka buruk, saling membenci, menghasut, berkata yang menyakitkan orang lain, tidak memandang apakah orang itu Muslim atau bukan Muslim. Semuanya itu adalah untuk menjaga agar persaudaraan dn suasana aman damai tetap berjalan. Maka semua anggota masyarakat hendaknya menghindari hal-hal yang menjurus kepada panasnya suatu masyarakat.

Keragaman adalah anugerah Ilahi yang harus dirangkai menjadi simfoni keindahan yang harmonis. Mustahil kita hidup dalam satu kesatuan yang seragam. Anak didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada di sekitarnya, dimana masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen dan plural. Paling tidak heterogenitas dan pluralitas masyarakat itu dapat dilihat dari eksistensi keragaman suku (etnis), ras, agama, dan budaya. Inilah realitas bangsa yang multikultural dan multi religious. Kekayaan ini harus dijaga menjadi keragaman dibawah semangat kebersamaan, bukan penyatuan.

Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan instrument pendidikan yang mampu mengarahkan kemajemukan ini. Pendidikan Islam adalah salah satu jawaban, karena ia merupakan ranah yang strategis untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme serta sebagai salah satu media penting yang dapat membenuk bagaimana corak pandangan hidup seseorang atau masyarakat, apakah pandangan hidup mereka hanya untuk kepentingan hidup di dunia ini saja atau di akhirat saja atau untuk keduanya. Selain itu lembaga pendidikan dapat membentuk manusia yang cerdas, bermoral, memliki semangat hidup dan memiliki semangat mengembangkan ilmu dan teknologi guna membangun bangsanya.

Spectrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu asset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, dunia pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam yang merupakan bagian dari pendidikan nasional mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.

Konsep pendidikan Islam saat ini harus mampu mengembangkan nilai-nilai multikultularisme yang memang sudah terkandung dalam ajaran Islam. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan pendidikan Islam, yaitu:

1. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada.

2. Pendidikan Islam merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realitas yang pluralis – multikultural.

3. Pendidikan Islam tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas SARA. Mereka yang berasal dari beragam perbedaan harus diposisikan secara setara.

4. Pendidikan Islam memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya kepercayaan diri pada setiap anak didik.

Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme muncul sebagai respon terhadap keberadaan pendidikan Islam yang seolah-olah “kurang terlibat” dalam menjawab berbagai masalah yang aktual. Pendidikan agama terkesan hanya digunakan sebagai legimitas terhadap kesalehan sosial sebagai way of life lebih-lebih sebagai transformasi transendental. Dalam hubungan ini, Pendidikan Islam hanya digunakan sebatas urusan hubungan manusia dengan Allah dan tidak terlibat dalam urusan hubungan manusia dengan alam, lingkungan sosial, dan berbagai problema kehidupan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, Pendidikan Islam harus mampu menjadi transmittor yang bersifat transendental. Pendidikan yang mampu untuk memperkokoh rasa cinta tanah air, setia kawan, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat untuk semua kultur sosial yang dijiwai pada nilai-nilai keislaman. Di samping itu pendidikan Islam harus memodifikasi dirinya agar mampu menjalankan perannya sebagai subsistem pendidikan nasional seiring dengan adanya keterbukaan sekat-sekat yang secara empirik menjadikan hubungan antarkultur menjadi sangat dekat dengan berbagai konflik sosial.[12]

Wajah ganda agama ini dengan mudah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu atau bahkan mendamaikan pertikaian antar satuan masyarakat. Ironisnya pendidikan islam sering “ditunggangi” dan tidak jarang dijadikan sumber tenaga untuk menyulut konflik. Pendidikan agama memang masih banyak menuai banyak kritik. Beberapa faktor penyebab kegagalan pendidikan agama adalah:

1. Praktik pendidikannya lebih banyak memperhatikan aspek kognitif dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan kurang pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.

2. Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai hidup dalam keseharian.

3. Para guru kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.

4. Keterbatasan sarana prasarana yang mengakibatkan pengelolaan cenderung seadanya.

5. Pendidikan agama lebih menitik beratkan pada aspek yang lebih menekankan pada hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada.

6. Dalam system evaluasi, bentuk soal-soal ujian agama Islam menunjukkan priorits utama pada kognitif dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan nilai dan makna spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.

7. Kelemahan dalam pemahaman materi pendidikan maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:

a. Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistik.

b. Bidang akhlak yang hanya berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama.

c. Bidang ibadah, diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian.

d. Dalam bidang hukum (fiqh) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam.

e. Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan.

f. Orientasi mempelajari al qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.

Orientasi semacam ini menyebabkan terjadinya keterpisahan dan kesenjangan antara ajaran agama dan realitas perilaku pemeluknya. Oleh karena itu, diperlukan reorientasi dalam pembelajaran agama Islam. Harus ada perubahan paradigma pendidikan yang selama ini dikembangkan. Perubahan paradigma yang dimaksud adalah mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah, dari hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic, dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses, dan fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, namun mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan.

Paradigma pendidikan yang ditawarkan oleh UNESCO perlu dicermati oleh para pelaku dan pemerhati pendidikan Islam. Paradigma yang ditawarkan tersebut adalah proses pendidikan bukan hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik untuk learning to think (berpikir), learning to do (berbuat), learning to be (menjadi) saja, namun proses pendidikan juga hendaknya dapat membentuk peserta didik untuk learning to live together (hidup bersama) dengan orang lain. Tiga paradigma pertama cenderung mengoptimalkan paserta didik sebagai individu, baik yang menyangkut ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sedangkan paradigma yang keempat adalah mengoptimalkan potensi sosial.

Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya paling tidak metodologi pengajaran, silabi dan kurikulumnya harus memenuhi tiga hal ini, yaitu:

1. Membongkar kurikulum yang eksklusif doktriner dengan kurikulum yang pluralis yang mampu membebaskan peserta didik keluar dari pandangan eksklusif.

2. Porsi moralitas dan etika universal harus diberikan secara lebih proporsional dengan pengajaran ritualitas-formalis.

3. Peserta didik perlu diberi wawasan yang cukup mengenai agama-agama lain, karena ketidakmengertian terhadap hal tersebut seringkali menimbulkan asumsi miring bahkan negatif terhadap agama lain.

Dari segi metode pengajaran, hendaknya hubungan guru dan murid bersifat dialogis-komunikatif. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar, murid bukan sebagai objek pengajaran. Namun guru dan murid sama-sama sebagai subjek belajar sehingga suasana di kelas akan dinamis dan hidup. Dalam hal ini pendidikan bisa dimaknai sebagai pemberdayaan manusia agar mandiri dan kreatif.

Reorientasi pelaksanaan pendidikan Islam diharapkan dapat menghasilkan output yang memiliki kesalehan individual juga kesalehan sosial sebagai modal utama dalam menghadapi kehidupan yang sangat kompleks dengan kondisi masyarakat yang multikultural dan multi religious. Terbentuknya anak didik yang memiliki cakrawala pandang yang luas, menghargai perbedaan, penuh toleransi, memiliki sikap simpatik, respek, apresiasi dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda serta jauh dari sikap stereotip, egoistic, individualistic, dan eksklusif akan menciptakan suasana masyarakat yang bermoral, toleran, damai, dan harmonis.

E. Implikasi Pendidikan Multikultural

Strategi pendidikan multikultural selanjutnya perlu dijabarkan dalam implikasi di sekolah. Menurut pendapat beberapa ahli dan realita empirik, dapat disusun tujuh implikasi strategi pendidikan dengan pendekatan multikultural. Tujuh implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut;

1. Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah.

Guru sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa ada agama lain selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik. Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut agamanya. Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan apapun di sekolah biasakan ada pembauran untuk bertoleransi dan membantu antarsiswa yang beragama berbeda.

Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau menerima siswa yang beragama sejenis. Guru dan kebijakan sekolah tidak mengungkapkan secara eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun, karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama. Sebagai bahan renungan, seorang guru harus peka dan bijaksana menjelaskan sejarah Perang Salib, bom Bali, konflik antarpemeluk agama di Maluku, terorisme, dan sebagainya. Jangan sampai ada ketersinggungan sekecil apapun karena kecerobohan ungkapan guru. Sekecil apapun singgungan tentang agama akan membekas dalam benak siswa yang akan dibawanya sampai dewasa.

2. Menghargai keragaman bahasa di sekolah

Dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah, namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa, baik lisan maupun tulisan.

Sekolah perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa ”geli” atau ”aneh” ketika mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai teman-teman yang unik dan menyenangkan, serta dapat bertukar pengetahuan berbahasa agar kita semakin kaya wawasan.

3. Membangun sikap sensitif gender di sekolah

”Dasar perempuan, cerewet dan bisanya menangis!”. ”Mentang-mentang cowok, jangan sok kuasa ngatur-ngatur di kelas ya!”. ”Syarat pengurus ekstrakurikuler adalah ketua harus cowok, sekretarisnya cewek, seksi perlengkapan cowok, seksi konsumsi cewek, ….”. Contoh ungkapan-ungkapan itu harus dihapus dari benak dan kebiasaan guru, siswa, dan warga sekolah yang lain.

Pembagian tugas, penyebutan contoh-contoh nama tokoh, dan sebagainya harus proporsional antara laki-laki dan perempuan. Tak ada yang lebih dominan atau sebaliknya minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam fungsi-fungsi pembelajaran di sekolah harus proporsional karena setiap siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi masing-masing. Perempuan jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender apapun yang mampu berprestasi, sebaliknya beri punishment yang tegas mendidik terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang menyinggung perbedaan gender.

4. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial

Pelayanan pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial dalam kelompok dan kelas untuk berinteraksi normal di sekolah. Meskipun begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun saling mendukung menurut kemampuan masing-masing. Sikap empati dan saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Atau bila ada musibah di antara warga sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan. Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun yang menjadi obyek empati.

5. Membangun sikap antideskriminasi etnis

Sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai etnis menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis mayoritas terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang semula mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif terhadap etnis yang berbeda. Sebagai misal ungkapan seperti ini, ”Dasar Batak, ngeyel dan galak”, ”Heh si Aceh ya, slamat ya terhindar dari Tsunami”, ”Halo Papua Kritam (kriting dan hitam)”, ”Ssst, jangan dekat dengan orang Dayak, nanti dimakan lho”.

Tanamkan dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah Indonesia yang hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi namun bisa bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Bila bertemu saling bertegur sapa, ”Halo Tigor, senang bertemu denganmu, kapan ya saya bisa berkunjung ke Danau Toba yang indah”, ”Wah, pemain bola dari Papua hebat-hebat ya, ada Eduard Ivakdalam, Emanuel Wanggai, Elly Eboy, dan lainnya. Suatu saat kamu bisa seperti mereka”. Ciptakan kultur dan kehidupan sekolah yang Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan komunikasi yang positif.

6. Menghargai perbedaan kemampuan

Sekolah tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam psikologi sosial dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan mental yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal masuk dan pengamatan proses guru dan siswa dapat saling memahami kelebihan dan kelemahan masing-masing. Karena siswa sudah menjadi bagian warga sekolah, maka jangan sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang meremehkan atau mentertawakan kelemahan yang sudah dipahami. Hal itu sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun siswa yang lemah. Yang unggul akan merasa jumawa dengan keunggulannya sehingga bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah akan menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya dibiasakan pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau kelas agar terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya tentang suatu materi dan merasa bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang memperoleh guru sebaya yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh teman-temannya.

7. Menghargai perbedaan umur

Setiap individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini, terutama tentang karakteristik psikologis dan tingkat kemampuan sesuai umurnya. Sebagai misal kemampuan berbahasa, analisis masalah, berkarya siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan kelas IX, apalagi dibandingkan dengan siswa SMA, mahasiswa atau gurunya. Selain itu jangan sampai ada deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif diantara warga sekolah dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan berdasar perbedaan ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai (misal ”si Unyil” untuk siswa bertubuh kecil, ”bayi ajaib” untuk siswa berusia lebih muda tapi pintar, ”tuyul” untuk adik kelas yang berkepala gundul, dan sebagainya). Seharusnya yang lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi, memberi kepercayaan, demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang lebih muda. Yang muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan membantu yang lebih tua.

Menyikapi kondisi sekolah sebagai ”dunia” multikultural, pengambil kebijakan dan warga sekolah harus mengubah paradigma dan sistem sekolah menjadi paradigma dan sistem sekolah yang multikultural. Secara serentak atau bertahap harus disusun kembali sistem, peraturan, kurikulum, perangkat-perangkat pembelajaran, dan lingkungan fisik atau sarana prasarana sekolah yang berbasis multikultural berdasarkan kesepakatan warga sekolah. Selanjutnya yang terpenting adalah secara kontinyu dilakukan orientasi kepada warga sekolah terutama warga baru, sosialisasi, tauladan guru dan kakak kelas, pembiasaan kultur sikap dan perilaku multikultural, serta pemberian reward dan punishment tentang pelaksanaan kultur sekolah dengan konsisten.

Rohidi (2002) dan Tilaar (2002) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner. Implementasinya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan, maupun perilaku harian. Proses itu diharapkan mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor pendidikan dengan pendekatan multikulural.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah proses pengembangan potensi manusia seperti intelektual, sosial, religius, moral, ekonomi , teknis, kesopanan, etnis budaya yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat juga diartikan sebagai pendidikan yang menghargai pluralitas.

Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan tingkat keanekaragaman Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Keanekaragaman tersebut dapat memberi keuntungan jika dapat dimanfaatkan dengan baik. Sehingga perlu usaha untuk menanamkan jiwa multikultural pada masyarakat Indonesia. Salah satu satuan pelajaran yang dapat dimodifikasi dengan landasan multikultural adalah Pendidikan Agama Islam (PAI). Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya paling tidak harus menerapkan metodologi pengajaran, silabi dan kurikulum yang tepat. Modifikasi ini merupakan suatu upaya agar PAI menghasilkan orang-orang yang mempunyai kesalehan individu dan juga kesalehan sosial.

Adapun implikasi dari pendidikan multikultural di sekolah adalah :

1. Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah

2. Menghargai keragaman bahasa di sekolah

3. Membangun sikap sensitif gender di sekolah

4. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial

5. Membangun sikap anti-deskriminasi etnis

6. Menghargai perbedaan kemampuan

7. Menghargai perbedaan umur.

B. Saran

Dalam implementasinya paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip- prinsip berikut ini :

Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda- beda.
Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip - prinsip pokok dalam memberantas pandangan klis tentang ras, budaya dan agama.

Agar pendidikan lebih multikultural, maka pendidikan dan pengajaran harus memperkokoh pluralisme dan menentang adanya rasisme, diskriminasi gender dan bentuk- bentuk lain dari intoleransi dan dominasi sosial. Pada konteks ini kita harus lakukan transformasi kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler dan peran guru sebagai multikultural.

DAFTAR PUSTAKA

Choirul Mahfud, 2006,Pendidikan Multikultural, Yogyakarta:Pustaka pelajar

Maslikhah, 2007, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, Salatiga: Kerja sama STAIN SALATIGA PRESS dengan JP BOOKS

Nanih Mahendrawati dan Ahmad syafe’i, 2001, Pengembangan masyarakat Islam: dari Ideologi ,strategi sampai tradisi. Bandung: Remaja Rosda karya,

Jurnal Kependidikan Islam, Vol.3, No.2, Juli-Desember 2008

[1] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2006)hal.75

[2] Maslikhah, quo vadis Pendidikan Multikultur, (Salatiga:Kerja sama STAIN SALATIGA PRESS dengan JP BOOKS,2007)hal.47

[3] Nanih Mahendrawati dan Ahmad syafe’i, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, strategi sampai tradisi.( Bandung: Remaja Rosda karya, 2001)hal.34

[4] Umi Khumaidah, Pendidikan multikulural,menuju pendidikan islami yang humanis yang ditulis dalam buku pendidikan islam dan tantangan globalisasi(Yogyakarta: Presma fakultas Tarbiyah UIN SUNAN KALIJAGA periode 2003-2004 dan AR-RUZZ MEDIA, 2004)hal.264

[5] Choirul Mahfud, Op.Cit, hal.175-176

[6] Ibid, hal.177

[7] Maslikhah, Op.Cit, hal.79

[8] Umi Khumaidah, Op. Cit, hal. 266

[9] Maslikhah, Op.cit,hal 159

[10] Yulia Riswanti, Urgensi Pendidikan Islam dalam Membangun Multikulturalisme ditulis dalam Jurnal Kependidikan Islam, Vol.3, No.2, Juli-Desember 2008 hal. 31

[11] Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam ajaran agama-agama di Indonesia ditulis dalam Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No.2, Juli-Desember 2008, hal. 8

[12] Maslikhah, Op.cit, hal 162