Minggu, 11 Maret 2012


                                                             

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bahkan Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut Atho’ Mudzhar multikulturalitas bangsa Indonesia ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perbedaan vertikal dan perbedaan horizontal. Perbedaan vertikal ditandai dengan realitas adanya pelapisan sosial atas-bawah dalam struktur kemasyarakan sebagai akibat perbedaan masing-masing individu di bidang politik, ekonomi, sosial dan pendidikan. Sedangkan perbedaan horizontal adalah perbedaan masyarakat berdasarkan kesatuan sosial budaya suku, ras, bahasa, adat-istiadat dan agama.

Multikulturalitas bangsa Indonesia ini bisa diibaratkan pisau bermata ganda. Di satu sisi ia menjadi potensi yang berharga dalam membangun peradaban bangsa, disisi lain apabila tidak dapat dikelola dengan baik, multikulturalitas tersebut akan memunculkan konflik yang mampu menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan disintegrasi bangsa. Perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi beban atau kekayaan tergantung bagaimana cara mengolahnya. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang telah dicetuskan oleh para founding fathers bangsa ini, diharapkan masyarakat Indonesia dapat hidup bersama berdampingan dalam suasana aman, damai, dan sejahtera.

Sungguhpun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang plural seringkali terjadinya konflik yang pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya stabilitas dan ketidakharmonisan. Di Indonesia seringkali muncul fenomena kekerasan seperti konflik etnis, konflik antar umat beragama, dan konflik lainnya. Salah satu contoh masalah yang dapat kita temui dalam kehidupan beragama yang plural ini adalah kecurigaan dan kesalahfahaman dari satu penganut agama terhadap sikap dan perilaku agama lain, malah juga terhadap sesama penganut agama tertentu. Hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme itu.

Agaknya menarik perhatian kita untuk berfikir ulang tentang peran agama, lebih khusus pendidikan agama Islam dalam mewarnai kehidupan masyarakat yang majemuk ini. Pendidikan Islam harus mampu menumbuhkan kesadaran pluralism-multikulturalisme sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, apa pun jenis perbedaannya, serta bagaimana agar perbedaan tersebut diterima sebagai hal yang alamiah (natural, sunnatullah) dan tidak menimbulkan tindakan diskriminatif, sebagai buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka.

Makalah ini berusaha membahas tentang hakikat pendidikan multikulturalisme dan penerapannya di Indonesia serta urgensi pendidikan Islam dalam membangun kesadaran multikulturalisme dalam masyarakat multikultural yang sarat dengan permasalahan seperti telah disebutkan. Dengan problem-problem tersebut, apa yang bisa ditawarkan oleh lembaga pendidikan Islam untuk turut andil mengatasinya sehingga pada akhirnya pendidikan Islam mampu memberikan kontribusinya terhadap stabilitas nasional.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa hakikat multikulturalisme dan pendidikan multikulturalisme?

2. Bagaimana pendidikan multikultural di Indonesia?

3. Apa urgensi pendidikan multikulturisme di Indonesia?

4. Bagaimana peran pendidikan agama islam dalam membangun multikulturalisme di Indonesia?

5. Bagaimana implikasi pendidikan multikulturalisme?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

1. Pengertian Multikulturalisme

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologi, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.[1] Dengan demikian setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Multikultural juga mengandung arti keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan.[2]

Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagamaan, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam atau multikultur. Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. [3]

Paradigma multikulturalisme memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi dan respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Diharapkan dengan kesadaran dan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya hingga orientasi politik, akan bisa mereduksi berbagai potensi yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.

2. Pendidikan Multikulturalisme

Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul dalam dunia pendidikan. Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan multikulturalisme adalah masyarakat yang secara objektif memiliki anggota plural. Paling tidak keranekaragaman masyarakat itu bisa dilihat dari eksistensi keragaman suku, ras, agama, dan budaya.[4]

Pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep muncul karena ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong. wacana pendidikan multikultural pada awalnya muncul di Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin gencar dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh, dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.

Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.

Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar ke kawasan di luar Amerika Serikat, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama, dan budaya. Sekarang, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.

Penafsiran tentang pendidikan multikultural banyak perbedaan antara satu pakar dengan pakar lainnya. Menurut pendapat Andersen dan Cusher, bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian menurut james Banks mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/sunatullah).

Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.

Dalam bukunya Multikultural Education : Teacher Guide to Linking Context, process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan kata lain bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar belakangnya maupun basis sosial budaya yang melingkupinya.[5]

James Bank (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu : Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran. Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial (sosial). Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.[6] Selain keempat dimensi pendidikan multikultural yang telah disebutkan di atas dalam bukunya HAR Tilaar menambahkan dimensi pemberdayaan budaya sekolah sebagai salah satu dimensi pendidikan multikultural. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dipandang sebagai pintu gerbang untuk melaksanakan tugas pengembangan budaya bagi peserta didik. Sebagai pintu gerbang, maka sekolah harus memiliki kekuatan strategis untuk menciptakan budaya positif sesuai dengan falsafah masyarakat. Sekolah harus merupakan suatu motor penggerak dalam perubahan struktur masyarakat yang timpang.[7]

Dari berbagai definisi yang telah disampaikan oleh para pakar tersebut dapat diambil dasar-dasar pelaksanaan pendidikan multikulturalisme, yaitu :

1. Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah proses pengembangan (developing). Yaitu sebagai suatu proses yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Proses ini biasa dilakukan di mana saja, kapan saja, untuk siapa saja dan berkaitan dengan siapa saja.

2. Pendidikan multikulturalisme mengembangkan seluruh potensi manusia, yaitu potensi yang ssebelumnya sudah ada dan diimiliki oleh manusia. Yaitu potensi intelektual, sosial, religius, moral, ekonomi, teknis, kesopanan, dan tentunya etnis budaya.

3. Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang menghargai pluralitas. Pendidikan yang menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, dan aliran agama, yaitu sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan.[8]

Ada enam tujuan pendidikan multikultural, yaitu: Pertama, mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat. Kedua, memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat. Ketiga, memperkuat kompetensi intelektual dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat. Keempat, membasmi berbagai prasangka. Kelima, mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi. Keenam, mengembangkan keterampilan aksi sosial.

B. Pendidikan Multikultural di Indonesia

Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk, betapa tidak, negara ini dihuni oleh suku bangsa yang plural dengan aneka ragam agama/kepercayaan, suku (yang tersebar dilebih dari 17.000 pulau) bahasa daerah yang mencapai lebih dari 500 bahasa dan budaya. Setiap individu yang hidup di negara ini pasti berhadapan dengan kebhinekaan, kemajemukan menyusup dan merasuk dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan., tak terkecuali dalam hal kepercayaan dan budaya.

Tetapi paradigma ini tidak efektif, karena pemahaman terhadap budaya lain juga masih cenderung disalah artikan sebagai upaya untuk mengerti sifat-sifat negatif orang lain tanpa mengimbangi dengan pemahaman terhadap nilai-nilai positifnya. Akibatnya berbagai macam perasaan etnosentrisme, stereotype, pelabelan negatif, dan prejudice cultural tetap menguat di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, banyak ahli yang berkesimpulan bahwa konflik sosial antar kelompok yang masih timbul di masyarakat berkaitan dengan paradigma pembangunan dan pendidikan yang dianut selama ini. Artinya, paradigma itu masih belum tepat untuk masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.

Belakangan ini (terutama setelah reformasi) di Indonesia mulai menguat gagasan untuk mengadopsi multikulturalisme. Banyak ahli yang memandang faham ini sangat layak dijadikan paradigma dalam proses pembangunan di Indonesia. Bertolak dari semangat untuk menerapkan paradigma multikultural ke dalam sistem pembangunan, sekarang ini tampak mengedepankan gagasan untuk menerapkan pola-pola pendidikan multikultural di sekolah-sekolah formal, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan kepramukaan, kewirausahaan, dan kewarganegaraan (PKn) sesungguhnya dilakukan sebagai bagian dari proses usaha membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan.

Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.

Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain yang salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.



C. Urgensi Pendidikan Multikultural

Sebagaimana hakikat manusia dan sifat dasar manusia yang harus dihormati dan dihargai, ada dimensi-dimensi utama manusia dan kebutuhannya.

Pendidikan multikultural sebagai pendidikan alternatif patut dikembangkan dan dijadikan sebagai model pendidikan di Indonesia dengan alasan:

1. Realitas bahwa Indonesia adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, bangsa, etnis, agama, dengan bahasa yang beragam dan membawa budaya yang heterogen serta tradisi dan peradaban yang beraneka ragam.

2. Pluralitas tersebut secara inheren sudah ada sejak bangsa indonesia ada.

3. Masyarakat menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialisasi dan kapitalis yang mengutamakan golongan atau orang tertentu.

4. Masyarakat tidak menghendaki kekerasan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan hak setiap orang.

5. Pendidikan multikultur sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasn dan kesewenang-wenangan.

6. Pendidikan multikultural memberikan harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini.

7. Pendidikan multikultural sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, kealaman, dan keTuhanan.[9]

D. Peran Pendidikan Agama Islam dalam Membangun Multikulturalisme di Indonesia

Sebelum membahas tentang peran PAI dalam membangun multikulturalisme di Indonesia, alangkah lebih baiknya kita mengetahui pandangan Islam terhadap prinsip multikulturalisme. Islam sebagai agama diturunkan untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian. Dengan demikian, segala bentuk terorisme, brutalisme, perusakan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim radikal yang mengatasnamakan Islam sebenarnya bertentangan dengan watak dasar dan misi damai Islam itu sendiri. Tidak ada doktrin dalam Islam juga agama-agama yang lain yang mengajarkan terorisme, brutalisme, perusakan, pembakaran atau pun tindak tanduk kekerasan lainnya.[10]

Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai, meletakkan konsep dan doktrin yang memberikan rahmat bagi al-‘alamin. Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normative, sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultural begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota sosial. Dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang kewajiban seorang Muslim untuk menjadi juru damai, yaitu senantiasa menjaga kedamaian dan kerukunan hidup dalam lingkungannya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa : 114, yang artinya : “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka , kecuali menyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat makruf (baik), atau melakukan islah (perdamaian) di antara manusia”. Kewajiban ini tidak hanya ditujukan kepada saudara seagama saja, sebab Allah SWT, secara tegas menyatakan bahwa manusia berasal dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), sehingga mereka semua bersaudara.

Lebih jauh, ajaran Islam juga mewajibkan umatnya mencegah segala bentuk penganiayaan yang hendak dilakukan oleh “saudaranya” kepada “saudaranya” yang lain. Sebagaimana termaktub dalam hadits Rasul,yang artinya: “Tolonglah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya. Seorang sahabat bertanya, waha Rasulullah, kami pasti akan menolongnya jika ia teraniaya, akan tetapi bagaimana kami menolongnya jika ia berlaku aniaya?, Nabi menjawab: Halangi dan cegahlah dia agar tidak berbuat aniaya. Yang demikian itulah pertolongan baginya”. (HR Bukhori).

Demikian agungnya ajaran Islam, sehingga sebenarnya jika seorang Muslim mau bersungguh dalam mempelajari dan mengamalkannya secara utuh (kaffah), maka keberadaan umat Islam akan benar-benar menjadi rahmat bagi lingkungannya (rahmatan lil ‘alamin).[11]

Di antara nilai-nilai Islam yang menghargai pluralis multikultural adalah :

1. Konsep kesamaan (as-sawiyah) yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya. Satu-satunya pembedaan kualitatif dalam pandangan Islam adalah ketakwaan. Pada waktu melakukan ibadah haji terakhir Nabi Muhammad SAW membuat pernyataan dengan etika global: “Wahai umat manusia, semua orang berasal dari Adam sedang Adam dari ekstrak tanah. Orang Arab tidak lebih mulia daripada non-Arab, orang kulit putih tidak lebih mulia daripada orang kulit hitam, kecuali karena kelebihan ketaqwaannya” (HR Abu hurairah).

Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap seseorang berdasarkan ras, agama, etnis, suku, ataupun kebangsaannya, hanya ketaqwaan seseoranglah yang membedakannya di hadapan Sang Pencipta.

2. Konsep keadilan (al-‘adalah) yang membongkar budaya nepotisme dan sikap-sikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hokum, hak dan kewajiban, bahkan dalam praktik-praktik keagamaan. Al-Qur’an memerintahkan kita berlaku adil terhadap siapapun (An-Nisa’:58), jangan sampai kebencian terhadap suatu pihak itu mendorong untuk tidak berlaku adil (Al-Maidah:8). Adil harus dilakukan terhadap diri sendiri, keluarga, kelompok, dan juga terhadap lawan.

3. Konsep kebebasan atau kemerdekaan (al-hurriyah) yang memandang semua manusia pada hakikatnya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba sesama manusia. Berakar dari kensep ini, maka manusia dalam .pandangan Islam mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi, memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan agamapun tidak dapat dipaksa seperti tercantum dalam Qur’an surat Al-Baqoroh:256.

4. Konsep toleransi (tasamuh) yang merupakan sikap membiarkan dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Dengan demikian, toleransi dapat diartikan memberikan kemerdekaan kepada golongan kecil untuk menganut dan menyatakan pandangan-pandangan politik dan agamanya, memberikan hak-hak istimewa seperti yang diperoleh golongan besar.

Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama bukanlah toleransi dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antara orang yang tidak seagama, dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.

Suatu tanda bahwa ada sikap dan suasana toleransi diantara sesama manusia, atau katakanlah diantara pemeluk agama yang berbeda ialah ketika adanya sikap mengakui hak setiap orang, menghormati keyakinan orang lain, setuju dalam perbedaan, saling mengerti dan adanya kesadaran serta kejujuran.

Berdasarkan keterangan di atas dat dipahami bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sudah mengembangkan prinsip-prinsip multikulturalisme jauh sebelum wacana multikulturalisme itu muncul. Islam adalah agama yang sempurna, di dalamnya ada aturan-aturan tentang urusan dunia dan akhirat. Diantaranya adalah terdapat dasar-dasar peraturan untuk hidup berdampingan secara damai dengan siapapun.

Dengan demikian, seseorang tidak boleh mencela, mencaci, mengumpat, menganggap rendah, berprasangka buruk, saling membenci, menghasut, berkata yang menyakitkan orang lain, tidak memandang apakah orang itu Muslim atau bukan Muslim. Semuanya itu adalah untuk menjaga agar persaudaraan dn suasana aman damai tetap berjalan. Maka semua anggota masyarakat hendaknya menghindari hal-hal yang menjurus kepada panasnya suatu masyarakat.

Keragaman adalah anugerah Ilahi yang harus dirangkai menjadi simfoni keindahan yang harmonis. Mustahil kita hidup dalam satu kesatuan yang seragam. Anak didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada di sekitarnya, dimana masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen dan plural. Paling tidak heterogenitas dan pluralitas masyarakat itu dapat dilihat dari eksistensi keragaman suku (etnis), ras, agama, dan budaya. Inilah realitas bangsa yang multikultural dan multi religious. Kekayaan ini harus dijaga menjadi keragaman dibawah semangat kebersamaan, bukan penyatuan.

Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan instrument pendidikan yang mampu mengarahkan kemajemukan ini. Pendidikan Islam adalah salah satu jawaban, karena ia merupakan ranah yang strategis untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme serta sebagai salah satu media penting yang dapat membenuk bagaimana corak pandangan hidup seseorang atau masyarakat, apakah pandangan hidup mereka hanya untuk kepentingan hidup di dunia ini saja atau di akhirat saja atau untuk keduanya. Selain itu lembaga pendidikan dapat membentuk manusia yang cerdas, bermoral, memliki semangat hidup dan memiliki semangat mengembangkan ilmu dan teknologi guna membangun bangsanya.

Spectrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu asset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, dunia pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam yang merupakan bagian dari pendidikan nasional mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.

Konsep pendidikan Islam saat ini harus mampu mengembangkan nilai-nilai multikultularisme yang memang sudah terkandung dalam ajaran Islam. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan pendidikan Islam, yaitu:

1. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada.

2. Pendidikan Islam merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realitas yang pluralis – multikultural.

3. Pendidikan Islam tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas SARA. Mereka yang berasal dari beragam perbedaan harus diposisikan secara setara.

4. Pendidikan Islam memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya kepercayaan diri pada setiap anak didik.

Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme muncul sebagai respon terhadap keberadaan pendidikan Islam yang seolah-olah “kurang terlibat” dalam menjawab berbagai masalah yang aktual. Pendidikan agama terkesan hanya digunakan sebagai legimitas terhadap kesalehan sosial sebagai way of life lebih-lebih sebagai transformasi transendental. Dalam hubungan ini, Pendidikan Islam hanya digunakan sebatas urusan hubungan manusia dengan Allah dan tidak terlibat dalam urusan hubungan manusia dengan alam, lingkungan sosial, dan berbagai problema kehidupan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, Pendidikan Islam harus mampu menjadi transmittor yang bersifat transendental. Pendidikan yang mampu untuk memperkokoh rasa cinta tanah air, setia kawan, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat untuk semua kultur sosial yang dijiwai pada nilai-nilai keislaman. Di samping itu pendidikan Islam harus memodifikasi dirinya agar mampu menjalankan perannya sebagai subsistem pendidikan nasional seiring dengan adanya keterbukaan sekat-sekat yang secara empirik menjadikan hubungan antarkultur menjadi sangat dekat dengan berbagai konflik sosial.[12]

Wajah ganda agama ini dengan mudah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu atau bahkan mendamaikan pertikaian antar satuan masyarakat. Ironisnya pendidikan islam sering “ditunggangi” dan tidak jarang dijadikan sumber tenaga untuk menyulut konflik. Pendidikan agama memang masih banyak menuai banyak kritik. Beberapa faktor penyebab kegagalan pendidikan agama adalah:

1. Praktik pendidikannya lebih banyak memperhatikan aspek kognitif dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan kurang pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.

2. Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai hidup dalam keseharian.

3. Para guru kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.

4. Keterbatasan sarana prasarana yang mengakibatkan pengelolaan cenderung seadanya.

5. Pendidikan agama lebih menitik beratkan pada aspek yang lebih menekankan pada hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada.

6. Dalam system evaluasi, bentuk soal-soal ujian agama Islam menunjukkan priorits utama pada kognitif dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan nilai dan makna spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.

7. Kelemahan dalam pemahaman materi pendidikan maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:

a. Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistik.

b. Bidang akhlak yang hanya berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama.

c. Bidang ibadah, diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian.

d. Dalam bidang hukum (fiqh) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam.

e. Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan.

f. Orientasi mempelajari al qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.

Orientasi semacam ini menyebabkan terjadinya keterpisahan dan kesenjangan antara ajaran agama dan realitas perilaku pemeluknya. Oleh karena itu, diperlukan reorientasi dalam pembelajaran agama Islam. Harus ada perubahan paradigma pendidikan yang selama ini dikembangkan. Perubahan paradigma yang dimaksud adalah mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah, dari hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic, dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses, dan fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, namun mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan.

Paradigma pendidikan yang ditawarkan oleh UNESCO perlu dicermati oleh para pelaku dan pemerhati pendidikan Islam. Paradigma yang ditawarkan tersebut adalah proses pendidikan bukan hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik untuk learning to think (berpikir), learning to do (berbuat), learning to be (menjadi) saja, namun proses pendidikan juga hendaknya dapat membentuk peserta didik untuk learning to live together (hidup bersama) dengan orang lain. Tiga paradigma pertama cenderung mengoptimalkan paserta didik sebagai individu, baik yang menyangkut ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sedangkan paradigma yang keempat adalah mengoptimalkan potensi sosial.

Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya paling tidak metodologi pengajaran, silabi dan kurikulumnya harus memenuhi tiga hal ini, yaitu:

1. Membongkar kurikulum yang eksklusif doktriner dengan kurikulum yang pluralis yang mampu membebaskan peserta didik keluar dari pandangan eksklusif.

2. Porsi moralitas dan etika universal harus diberikan secara lebih proporsional dengan pengajaran ritualitas-formalis.

3. Peserta didik perlu diberi wawasan yang cukup mengenai agama-agama lain, karena ketidakmengertian terhadap hal tersebut seringkali menimbulkan asumsi miring bahkan negatif terhadap agama lain.

Dari segi metode pengajaran, hendaknya hubungan guru dan murid bersifat dialogis-komunikatif. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar, murid bukan sebagai objek pengajaran. Namun guru dan murid sama-sama sebagai subjek belajar sehingga suasana di kelas akan dinamis dan hidup. Dalam hal ini pendidikan bisa dimaknai sebagai pemberdayaan manusia agar mandiri dan kreatif.

Reorientasi pelaksanaan pendidikan Islam diharapkan dapat menghasilkan output yang memiliki kesalehan individual juga kesalehan sosial sebagai modal utama dalam menghadapi kehidupan yang sangat kompleks dengan kondisi masyarakat yang multikultural dan multi religious. Terbentuknya anak didik yang memiliki cakrawala pandang yang luas, menghargai perbedaan, penuh toleransi, memiliki sikap simpatik, respek, apresiasi dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda serta jauh dari sikap stereotip, egoistic, individualistic, dan eksklusif akan menciptakan suasana masyarakat yang bermoral, toleran, damai, dan harmonis.

E. Implikasi Pendidikan Multikultural

Strategi pendidikan multikultural selanjutnya perlu dijabarkan dalam implikasi di sekolah. Menurut pendapat beberapa ahli dan realita empirik, dapat disusun tujuh implikasi strategi pendidikan dengan pendekatan multikultural. Tujuh implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut;

1. Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah.

Guru sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa ada agama lain selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik. Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut agamanya. Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan apapun di sekolah biasakan ada pembauran untuk bertoleransi dan membantu antarsiswa yang beragama berbeda.

Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau menerima siswa yang beragama sejenis. Guru dan kebijakan sekolah tidak mengungkapkan secara eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun, karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama. Sebagai bahan renungan, seorang guru harus peka dan bijaksana menjelaskan sejarah Perang Salib, bom Bali, konflik antarpemeluk agama di Maluku, terorisme, dan sebagainya. Jangan sampai ada ketersinggungan sekecil apapun karena kecerobohan ungkapan guru. Sekecil apapun singgungan tentang agama akan membekas dalam benak siswa yang akan dibawanya sampai dewasa.

2. Menghargai keragaman bahasa di sekolah

Dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah, namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa, baik lisan maupun tulisan.

Sekolah perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa ”geli” atau ”aneh” ketika mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai teman-teman yang unik dan menyenangkan, serta dapat bertukar pengetahuan berbahasa agar kita semakin kaya wawasan.

3. Membangun sikap sensitif gender di sekolah

”Dasar perempuan, cerewet dan bisanya menangis!”. ”Mentang-mentang cowok, jangan sok kuasa ngatur-ngatur di kelas ya!”. ”Syarat pengurus ekstrakurikuler adalah ketua harus cowok, sekretarisnya cewek, seksi perlengkapan cowok, seksi konsumsi cewek, ….”. Contoh ungkapan-ungkapan itu harus dihapus dari benak dan kebiasaan guru, siswa, dan warga sekolah yang lain.

Pembagian tugas, penyebutan contoh-contoh nama tokoh, dan sebagainya harus proporsional antara laki-laki dan perempuan. Tak ada yang lebih dominan atau sebaliknya minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam fungsi-fungsi pembelajaran di sekolah harus proporsional karena setiap siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi masing-masing. Perempuan jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender apapun yang mampu berprestasi, sebaliknya beri punishment yang tegas mendidik terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang menyinggung perbedaan gender.

4. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial

Pelayanan pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial dalam kelompok dan kelas untuk berinteraksi normal di sekolah. Meskipun begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun saling mendukung menurut kemampuan masing-masing. Sikap empati dan saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Atau bila ada musibah di antara warga sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan. Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun yang menjadi obyek empati.

5. Membangun sikap antideskriminasi etnis

Sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai etnis menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis mayoritas terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang semula mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif terhadap etnis yang berbeda. Sebagai misal ungkapan seperti ini, ”Dasar Batak, ngeyel dan galak”, ”Heh si Aceh ya, slamat ya terhindar dari Tsunami”, ”Halo Papua Kritam (kriting dan hitam)”, ”Ssst, jangan dekat dengan orang Dayak, nanti dimakan lho”.

Tanamkan dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah Indonesia yang hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi namun bisa bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Bila bertemu saling bertegur sapa, ”Halo Tigor, senang bertemu denganmu, kapan ya saya bisa berkunjung ke Danau Toba yang indah”, ”Wah, pemain bola dari Papua hebat-hebat ya, ada Eduard Ivakdalam, Emanuel Wanggai, Elly Eboy, dan lainnya. Suatu saat kamu bisa seperti mereka”. Ciptakan kultur dan kehidupan sekolah yang Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan komunikasi yang positif.

6. Menghargai perbedaan kemampuan

Sekolah tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam psikologi sosial dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan mental yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal masuk dan pengamatan proses guru dan siswa dapat saling memahami kelebihan dan kelemahan masing-masing. Karena siswa sudah menjadi bagian warga sekolah, maka jangan sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang meremehkan atau mentertawakan kelemahan yang sudah dipahami. Hal itu sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun siswa yang lemah. Yang unggul akan merasa jumawa dengan keunggulannya sehingga bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah akan menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya dibiasakan pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau kelas agar terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya tentang suatu materi dan merasa bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang memperoleh guru sebaya yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh teman-temannya.

7. Menghargai perbedaan umur

Setiap individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini, terutama tentang karakteristik psikologis dan tingkat kemampuan sesuai umurnya. Sebagai misal kemampuan berbahasa, analisis masalah, berkarya siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan kelas IX, apalagi dibandingkan dengan siswa SMA, mahasiswa atau gurunya. Selain itu jangan sampai ada deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif diantara warga sekolah dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan berdasar perbedaan ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai (misal ”si Unyil” untuk siswa bertubuh kecil, ”bayi ajaib” untuk siswa berusia lebih muda tapi pintar, ”tuyul” untuk adik kelas yang berkepala gundul, dan sebagainya). Seharusnya yang lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi, memberi kepercayaan, demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang lebih muda. Yang muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan membantu yang lebih tua.

Menyikapi kondisi sekolah sebagai ”dunia” multikultural, pengambil kebijakan dan warga sekolah harus mengubah paradigma dan sistem sekolah menjadi paradigma dan sistem sekolah yang multikultural. Secara serentak atau bertahap harus disusun kembali sistem, peraturan, kurikulum, perangkat-perangkat pembelajaran, dan lingkungan fisik atau sarana prasarana sekolah yang berbasis multikultural berdasarkan kesepakatan warga sekolah. Selanjutnya yang terpenting adalah secara kontinyu dilakukan orientasi kepada warga sekolah terutama warga baru, sosialisasi, tauladan guru dan kakak kelas, pembiasaan kultur sikap dan perilaku multikultural, serta pemberian reward dan punishment tentang pelaksanaan kultur sekolah dengan konsisten.

Rohidi (2002) dan Tilaar (2002) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner. Implementasinya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan, maupun perilaku harian. Proses itu diharapkan mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor pendidikan dengan pendekatan multikulural.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah proses pengembangan potensi manusia seperti intelektual, sosial, religius, moral, ekonomi , teknis, kesopanan, etnis budaya yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat juga diartikan sebagai pendidikan yang menghargai pluralitas.

Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan tingkat keanekaragaman Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Keanekaragaman tersebut dapat memberi keuntungan jika dapat dimanfaatkan dengan baik. Sehingga perlu usaha untuk menanamkan jiwa multikultural pada masyarakat Indonesia. Salah satu satuan pelajaran yang dapat dimodifikasi dengan landasan multikultural adalah Pendidikan Agama Islam (PAI). Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya paling tidak harus menerapkan metodologi pengajaran, silabi dan kurikulum yang tepat. Modifikasi ini merupakan suatu upaya agar PAI menghasilkan orang-orang yang mempunyai kesalehan individu dan juga kesalehan sosial.

Adapun implikasi dari pendidikan multikultural di sekolah adalah :

1. Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah

2. Menghargai keragaman bahasa di sekolah

3. Membangun sikap sensitif gender di sekolah

4. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial

5. Membangun sikap anti-deskriminasi etnis

6. Menghargai perbedaan kemampuan

7. Menghargai perbedaan umur.

B. Saran

Dalam implementasinya paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip- prinsip berikut ini :

Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda- beda.
Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip - prinsip pokok dalam memberantas pandangan klis tentang ras, budaya dan agama.

Agar pendidikan lebih multikultural, maka pendidikan dan pengajaran harus memperkokoh pluralisme dan menentang adanya rasisme, diskriminasi gender dan bentuk- bentuk lain dari intoleransi dan dominasi sosial. Pada konteks ini kita harus lakukan transformasi kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler dan peran guru sebagai multikultural.

DAFTAR PUSTAKA

Choirul Mahfud, 2006,Pendidikan Multikultural, Yogyakarta:Pustaka pelajar

Maslikhah, 2007, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, Salatiga: Kerja sama STAIN SALATIGA PRESS dengan JP BOOKS

Nanih Mahendrawati dan Ahmad syafe’i, 2001, Pengembangan masyarakat Islam: dari Ideologi ,strategi sampai tradisi. Bandung: Remaja Rosda karya,

Jurnal Kependidikan Islam, Vol.3, No.2, Juli-Desember 2008

[1] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2006)hal.75

[2] Maslikhah, quo vadis Pendidikan Multikultur, (Salatiga:Kerja sama STAIN SALATIGA PRESS dengan JP BOOKS,2007)hal.47

[3] Nanih Mahendrawati dan Ahmad syafe’i, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, strategi sampai tradisi.( Bandung: Remaja Rosda karya, 2001)hal.34

[4] Umi Khumaidah, Pendidikan multikulural,menuju pendidikan islami yang humanis yang ditulis dalam buku pendidikan islam dan tantangan globalisasi(Yogyakarta: Presma fakultas Tarbiyah UIN SUNAN KALIJAGA periode 2003-2004 dan AR-RUZZ MEDIA, 2004)hal.264

[5] Choirul Mahfud, Op.Cit, hal.175-176

[6] Ibid, hal.177

[7] Maslikhah, Op.Cit, hal.79

[8] Umi Khumaidah, Op. Cit, hal. 266

[9] Maslikhah, Op.cit,hal 159

[10] Yulia Riswanti, Urgensi Pendidikan Islam dalam Membangun Multikulturalisme ditulis dalam Jurnal Kependidikan Islam, Vol.3, No.2, Juli-Desember 2008 hal. 31

[11] Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam ajaran agama-agama di Indonesia ditulis dalam Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No.2, Juli-Desember 2008, hal. 8

[12] Maslikhah, Op.cit, hal 162

G+

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di IPMAWANKU

0 komentar:

Artikel terkait :